Mohon tunggu...
Andika NugrahaFirmansyah
Andika NugrahaFirmansyah Mohon Tunggu... Guru - Aktif di Sokola Sogan, Komunitas Belajar berbasis minat dan bakat.

Seorang pembelajar yang berteman dengan anak-anak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Cita-citaku Menjadi Guru PAUD

3 Januari 2024   22:29 Diperbarui: 4 Januari 2024   17:30 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Menghias PAUD. (Foto: KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO NUGROHO)

"Mas Andika, tolong aku."

Begitu sebuah pesan singkat masuk kira-kira pukul 10.30 wib kepada saya. Pesan singkat dari salah seorang teman belajar yang sekarang berada di kelas 12.

"Tadi aku dipanggil BK." Ia melanjutkan percakapan.

Saya heran dan mengira-ngira apa penyebab ia dipanggil BK. Saya tidak menemukan alasan bagaimana bisa anak penurut dan pandai ini dipanggil BK.

"Kenapa nih?"


"Masalah kuliah."

"Emangnya gimana?"

Saya lega. Ternyata ia dipanggil BK bukan karena kasus aneh-aneh. Kemudian, percakapan kami berlanjut.

"Tadi pas di BK itu aku tok yang dipanggil. Sendirian. Yang lain pada bareng-bareng gitu. Nah, pas di BK, Guru BKnya udah ngeliatin terus dari aku masuk sampai akhir. Terus beliau tanya, kamu kenapa gak milih untuk masuk SNBP? Apa kamu gak tau peraturan di SNBP itu apa aja? Secara kamu itu paralel, mampu buat bersaing dijalur itu. Kamu sebenarnya mau kemana? dll lah, ndredel pertanyaane."

"Lha terus kamu jawab apa?"

Ia menjawab setiap pertanyaan yang ada. Termasuk mengakui kurang mencari informasi mengenai SNBP. Namun, ia menjelaskan bahwa sudah memantapkan diri masuk ke jurusan impian yang berada di universitas dalam kotanya. 

Guru BK agak menyesalkan pilihan itu. Karena beliau menganggap teman belajar ini berprestasi di sekolah dan berpeluang besar untuk masuk PTN top.

Sebenarnya teman saya ini ingin sekali bisa kuliah ke luar kota. Namun terkendala biaya. Guru BK bertambah bingung ketika mengetahui orang tua teman saya ini seorang abdi negara. Tetapi pada akhirnya beliau bisa memahami bahwa abdi negara pun tidak menjamin kondisi ekonomi yang stabil.

Saya bisa memahami dan ikut merasakan, bagaimana rasanya menjadi kelompok ekonomi menengah. Mau dibilang kaya, ya belum. Mau dapat bantuan juga gak bisa. Susah benar.

Guru BK kembali mempertanyakan mengenai pilihan jurusan teman saya yang dibilang tidak punya jenjang karir dan jaminan ekonomi yang jelas.

"Tapi kenapa kamu pilih jurusan PAUD? Apa kamu sudah tau kedepannya seperti apa? Lapangan kerjanya kayak gimana? karena orang yang kuliah itu tujuannya untuk mendapatkan benefit yang lebih otomatis masalah gaji. Tpi maaf yaa, 

"Saya bukan merendahkan. Gaji guru PAUD itu sangat kecil. PAUD itu kebanyakan hanya di desa-desa. Otomatis gajinya gak gede. Kecuali kamu memang dari hati nurani pingin sekali memasuki dunia anak-anak. Mengajar dengan ikhlas. Maksudnya gak mikirin gaji berapa lah, ini itu lah" begitu kata Guru BKnya. Belum selesai disitu, Beliau kembali menambahkan.

"Saran dari saya, kenapa kamu gak pilih PGSD atau jurusan keguruan lain yang sekarang lebih banyak dibutuhkan dan lapangan kerjanya luas. Bisa jadi ASN dengan gaji yang besar. Coba diomongkan dulu sama orang tua. Besok ke BK lagi, untuk memastikan."

"Beliau bilangnya gitu, Mas. Jadi aku ada waktu semalem ini tok buat mikir itu. Gatau aku bingung. Tadinya udah mantep. Eh goyah lagi." Begitu kata teman saya ini.

Saya langsung meminta ijin untuk menelpon. Saya berbicara panjang lebar dan menggaris-bawahi, bahwa saya hanya memberikan pertimbangan saja. Semua pilihan adalah murni pilihan teman saya itu. 

Walaupun ada rasa ingin marah. Karena tidak seharusnya keinginan untuk mendidik anak-anak dibenturkan dengan ekonomi. Walaupun memang begitu keadaannya di Indonesia.

Memang, menjadi ASN merupakan impian sebagian besar guru di Indonesia karena mendatangkan perasaan aman karena jaminan finansial dari pemerintah. 

Banyak pula yang rela menjadi honorer dengan gaji kecil sembari menghidupkan harapan supaya bisa diangkat menjadi ASN. Bahkan rela mengikuti tes rekrutmen ASN berulangkali.

Tapi, apakah dengan status menjadi ASN otomatis menjadi tanda bahwa guru itu berkualitas?

Sebuah Riset dari SMERU berjudul The Struggle to Recruit Good Teachers in Indonesia: Institutional and Social Dysfunctions yang dipublikasikan pada Juni 2020 menunjukkan bahwa rekrutmen guru ASN di Indonesia belum mampu menjaring calon guru berkualitas karena seleksinya yang mengabaikan penguasaan atas kompetensi guru. 

Dokumen Pribadi. Outing Class PAUD Sogan Slamaran
Dokumen Pribadi. Outing Class PAUD Sogan Slamaran

Namun, yang lebih parah adalah status ASN hanya berakhir menjadi zona nyaman bagi guru. Kebijakan terkait profesi guru ASN tidak mampu mendorong capaian standar kompetensi yang tinggi, dan minim insentif bagi mereka untuk mengembangkan karier. 

Bahkan, temuan SMERU juga menyebutkan orientasi mereka yang diterima guru ASN sekadar fokus pada administrasi, kehadiran dan kedisiplinan.

Saya merasa kasihan jika nantinya calon guru muda potensial seperti teman saya ini, yang ingin menjadi guru karena panggilan jiwanya untuk mengajar, bukan sekadar karena iming-iming insentif sebagai guru ASN, mengikuti jejak-jejak yang sudah-sudah, bukan berfokus pada anak didik.

Kalau sudah begitu, bagaimana nasib anak didik di sekolah?

Kemudian, kepada teman saya ini, saya berikan kontak seseorang yang mengalami keadaan serupa dengannya beberapa tahun yang lalu. Sekarang ia sudah menjadi guru PAUD yang dicintai anak didiknya, menjadi guru TPQ di sore hari, penulis buku cerita anak, pendongeng, pemenang berbagai lomba tingkat lokal, daerah hingga nasional. 

Dia masih muda, dan bukan ASN. Bahkan, ia juga memiliki impian untuk membuat sekolahnya sendiri. Harapan saya, semoga teman saya yang bingung ini bisa mendapatkan sedikit pencerahan.

Saya yakin banyak juga yang mengalami hal yang sama dengan teman saya ini, para calon guru yang ingin memasuki profesi mulia ini karena panggilan jiwanya untuk mendidik.

Saya hanya ingin berpesan, kalau kelak menjadi guru ASN maka jadilah ASN yang berfokus ngemong anak-anak. Kalau memang belum bisa menjadi ASN, atau memang tidak mau, bukalah usaha untuk memenuhi kebutuhan. Jangan bisniskan anak-anak.

Saya hanya bisa mendoakan kebaikan kalian dan keturunan kalian. Semoga niat kalian tetap lurus untuk mendidik anak-anak. Seperti dawuh Mbah Moen,

"..., hadirkanlah gambaran bahwa diantara satu dari mereka (siswa-siswa) kelak akan menarik tangan kita menuju surga."

Kepada pemerintah, seharusnya hal ini bisa diselesaikan. Bukan hanya menjadi isu yang (kembali) populer lima tahunan. Tunjukkan keseriusan untuk menjamin kesejahteraan guru sejak detik pertama ia mengajar!

Pekalongan 3 Januari 2024
Andika Nugraha Firmansyah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun