Mohon tunggu...
Andika NugrahaFirmansyah
Andika NugrahaFirmansyah Mohon Tunggu... Guru - Aktif di Sokola Sogan, Komunitas Belajar berbasis minat dan bakat.

Seorang pembelajar yang berteman dengan anak-anak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar adalah Kemerdekaan Siswa

9 November 2021   06:51 Diperbarui: 9 November 2021   06:53 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak saat masuk di Sokola Sogan/dokpri 

Beberapa hari yang lalu, saat hari libur sekolah, anak-anak kecil datang dan bermain di komunitas kami, Sokola Sogan. Mereka langsung mengambil semua mainan dan media pembelajaran yang ada. Ada yang mengambil sempoa, alat musik, ada yang asyik memainkan mainan pasang-pasangan, ada yang bermain bola, ada yang sibuk membuka buku cerita. Suasana di ruang berukuran 6x6 ini terasa sangat ramai, dipenuhi oleh anak-anak. 

Saya awalnya hanya mengamati mereka bermain sambil menanyakan satu persatu apa yang sedang mereka lakukan. Salah satu diantara mereka, yang sedang bermain pasang-pasangan mengatakan pada Saya akan membuat sebuah menara. Mereka menyusun mainan tersebut di sudut ruangan sehingga tertempel di tembok. 

Salah seorang yang lain, Bopal, mengambil kursi, menaikinya, kemudian menyambungkannya. Tinggi menara yang mereka buat hanya kurang sekitar 5 cm untuk menyentuh atap ruangan yang tingginya 2,5 meter itu. Bopal terlihat gembira dan memamerkannya kepada anak-anak yang lain yang berada di ruangan. Semua anak takjub, ada yang kemudian mendekat. Ada juga yang tidak mau kalah, kemudian mulai membuat hal-hal yang serupa. 

Salah seorang anak diantara mereka yang terlihat paling heboh adalah Nata. Anak laki-laki berumur 2,5 tahun. 

Dia bilang kepada Saya, "Om Andika, Om Andika, itu ditambahi lagi, biar tambah dhuwur (tinggi)."

"Nang, lha itu sudah paling tinggi, ndak bisa ditambah lagi." Jawab Saya.

"Udah ndak bisa?" Dia masih bertanya.

"Kalau ditambah lagi nanti harus nglewati genteng." Jawab Saya lagi.

"Iya ndapapa", Dia menanggapi sambil tertawa. 

Saya juga ikut tertawa melihat dia tertawa, sambil mengusap-usap rambut di kepalanya.

Dunia anak-anak sangat mengasyikkan. Anak-anak memiliki imajinasi yang luar biasa. Daya bertanya yang tiada batasnya. Keberanian untuk melewati batasan-batasan. Yang tentu saja ini tidak dimiliki oleh orang dewasa. 

Karena orang dewasa sudah memiliki banyak pertimbangan dan rasa cemasnya. Peralihan terjadi dari anak-anak dengan segala rasa ingin tahu dan keceriaannya menuju dewasa dengan rasa ingin tahu yang menurun drastis. 

Padahal rasa ingin tahu ini juga sangat penting dimiliki oleh siapapun, termasuk orang dewasa, agar menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat. Lalu dimana hilangnya semua itu? Sejak kapan ia hilang?

Diusia anak-anak mereka cenderung dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka. Utamanya dari keluarga, sekolah dan teman-teman yang ada di sekitar tempat dia bermain. Keluarga mempunyai peran penting dalam membuat pondasi karakter anak. 

Ini juga dikuati ketika berada di sekolah kemudian mulai bereksplorasi dan berelaborasi Ketika bermain dengan anak-anak disekitarnya.

Sayangnya, kondisi rumah, sekolah dan teman-teman sekitanya berbeda-beda. Tidak semua anak lahir dari keluarga yang utuh. Pertemanan juga tidak selamanya baik-baik saja. Dan sekolah kadang kurang peduli dengan masalah pribadi anak-anak. 

Di sekolah anak-anak, siapapun dia, bagaimanapun keadaannya, diasumsikan sudah siap menerima pelajaran ketika di dalam ruang kelas. Di dalam kelas, guru juga sudah siap mengirimkan ilmunya kepada anak-anak.

Anak-anak yang tidak siap ini akan mendapatkan hasil belajar yang kurang baik. Alhasil anak-anak ini yang akan mendapatkan stempel bodoh yang tidak jarang itu diberikan oleh gurunya sendiri. Tentu ini akan berdampak sangat buruk bagi perkembangan anak-anak. Bahkan bisa ia ingat hingga menjadi dewasa.

Ternyata, kenakalan tidak hanya dimiliki oleh remaja saja. Namun, kenakalan orang tua (apalagi guru) jauh lebih berbahaya daripada kenakalan remaja. Karena sekali saja orang tua nakal, ia dapat 'membunuh' remaja lewat stigma-stigma yang disematkan kepadanya. 

Sikap-sikap seperti ini harus mulai dikurangi. Orang tua (khususnya guru) harus mulai beradaptasi dengan hal-hal baru. Mereka tidak bisa mengajar dengan cara yang sama persis dengan bagaimana guru mengajar mereka dahulu. 

Celakanya cara mengajar ini tidak jauh berbeda saat zaman kolonial dahulu. Bedanya sekarang Kita sudah merdeka. Namun apakah anak-anak sudah merasakan kemerdekaanya dalam pembelajaran?

Anak-anak adalah anak zaman. Zaman sudah berubah, begitu juga dengan anak-anak. Guru harus senantiasa berubah, belajar, berdialog dengan anak-anak, mendekat, memfasilitasi dan memberikan ruang pada mereka untuk mengembangkan dirinya. 

Jika hal ini tidak dilakukan, maka jangan bilang Belanda masih jauh, Karena jangan-jangan Belanda masih di sini, di dalam diri kita masing-masing dalam mendidik anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun