Mohon tunggu...
Andi Istiabudi
Andi Istiabudi Mohon Tunggu... -

# Pembaca Harian Kompas sejak kecil # Autograph Collector # Professional Creative Writer / Content Writer # Penulis buku : "Cerita Tentang Mereka" (2012), "Martin Hutagalung : Mengamen dari Medan hingga Belanda" (2015), "Bersama Presiden & Wapres" (2016) #Twitter : @andiistiabudi #Instagram : @andi_istiabudi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Nas dalam Kenangan

19 September 2016   18:27 Diperbarui: 19 September 2016   18:36 1404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alm. Ibu Nasution bersama saya (dokumen pribadi)

Seminggu kemudian saya mendapat surat balasan dari Bu Nas. Dalam surat tersebut, beliau memberikan saya sepucuk kartu nama beliau yang ditandatangani dan dibalik kartu nama tersebut tertera pesan kepada saya untuk mengambil buku tentang Pak Nas di kantor yayasan milik Bu Nas. Beliau juga menyertakan selembar foto Pak Nas yang mengenakan seragam kebesaran Jenderal Besar TNI dengan bintang lima. Dalam foto tersebut, Pak Nas tampak sedang mengangkat tangan kanannya untuk memberikan hormat sembari tersenyum. Foto tersebut diberikan sebagai kenang-kenangan yang dibaliknya ditandatangani langsung oleh Bu Nas. Buku yang akan diberikan tersebut akhirnya batal diambil karena Bu Nas kemudian meminta saya menemuinya secara langsung.

Setelah beberapa kali saya berkomunikasi via telepon secara langsung dengan Bu Nas, akhirnya disepakati saya dapat bertemu dengan beliau pada Minggu pagi tanggal 1 Maret 2009 di kediaman anaknya yang terletak di kawasan Jl. KH. Agus Salim Menteng, Jakarta Pusat. Setelah melapor kepada petugas jaga, saya kemudian dipersilahkan masuk dan menunggu di ruang tamu samping. Foto-foto dan lukisan Pak Nas saat muda dan mengenakan seragam militer terlihat menghiasi dinding ruang tamu samping yang tidak terlalu besar tersebut.

Tidak lama kemudian, Bu Nas muncul bersama seorang perawat yang mendampinginya. Meskipun usianya saat itu lebih dari 80 tahun, namun secara keseluruhan ibu dari mendiang Ade Irma Suryani ini masih tampak sehat. Beliau berjalan perlahan-lahan sambil mengenakan tongkat dibantu seorang perawat yang senantiasa menjaganya. Setelah Bu Nas duduk dan bersalaman dengan saya, perawat tersebut kemudian meninggalkan Bu Nas. Kami pun segera memulai percakapan yang diwarnai suasana hangat dan penuh kekeluargaan.

Pembicaraan kami dimulai dari asal usul dan latar belakang keluarga saya hingga tentang sosok Pak Nas yang saya kagumi. Pembicaraan tersebut menurut saya bagaikan pembicaraan antara seseorang nenek dengan cucunya, dimana suasananya terasa sangat akrab dan bersahaja. Dari pembicaraan tersebut, saya kemudian mengetahui bahwa Bu Nas pernah tinggal di Probolinggo, Jawa Timur yang merupakan kota kelahiran ibu saya. Bu Nas mengaku pernah tinggal di Probolinggo saat masih muda namun sudah lama tidak mengunjungi kota tersebut.

Dalam pertemuan tersebut ada beberapa pembicaraan tentang Pak Nas yang sangat menarik dan baru saya ketahui dari beliau, diantaranya adalah permasalahan pribadi antara Bung Karno dan Pak Nas serta kehidupan Pak Nas saat Presiden Soeharto berkuasa. Menurut Bu Nas, meski diterpa berbagai masalah namun hal itu tidak pernah membuat Pak Nas mengeluh, sebaliknya beliau tetap tegar dan bersemangat menghadapinya. Mendengar cerita Bu Nas, jujur saya sedih dengan keadaan Pak Nas saat itu, namun hal itulah yang membuat Pak Nas layak disebut sebagai prajurit dan negarawan sejati.

Tentu saja pembicaraan yang paling menarik minat saya adalah tentang Dwi Fungsi TNI dan seputar peristiwa G30S/PKI yang terjadi di rumah beliau. Bu Nas mengatakan bahwa Dwi Fungsi TNI yang dicetuskan oleh Pak Nas sebenarnya sangat baik diterapkan di Indonesia, namun sayangnya dalam penerapannya ternyata banyak disalahgunakan dan tidak sesuai dengan konsep aslinya. Sejak reformasi terjadi tahun 1998, masyarakat cenderung anti Dwi Fungsi TNI tanpa melihat konsep sebenarnya dari Dwi Fungsi TNI tersebut.

Menurut Bu Nas, bangsa Indonesia lebih suka melihat model demokrasi ala Amerika Serikat dibandingkan demokrasi Pancasila yang memang lahir dari budaya bangsa Indonesia. Baik Demokrasi Pancasila maupun Dwi Fungsi TNI sebenarnya memiliki saling keterikatan dan saling melengkapi untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik bagi rakyat Indonesia.

Seandainya Pak Nas saat ini masih hidup, beliau tentunya akan merasa sedih dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia yang lebih cenderung mengandalkan asas kebebasan dibanding asas musyarawarah mufakat serta adanya sikap anti militer di sebagian kalangan masyarakat, padahal TNI dan rakyat adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan karena TNI ada dan berasal dari rakyat serta berjuang bersama untuk rakyat. Itulah konsep sebenarnya dari Dwi Fungsi TNI.

Mengenai peristiwa G30S/PKI, Bu Nas mengatakan apa yang ditampilkan dalam cuplikan adegan film Pengkhianatan G-30S/PKI dimana sekelompok pasukan Cakrabirawa menyerbu kediaman Pak Nas memang benar seperti itu kejadiannya, bahkan sebenarnya kejadiannya jauh lebih mencekam karena saat itu kondisi rumah gelap gulita akibat listrik dipadamkan, sambungan telepon diputus dan bau amunisi bekas tembakan pasukan Cakrabirawa begitu menyengat di dalam rumah. Bagi Bu Nas, kejadian puluhan tahun silam tersebut seolah baru terjadi kemarin dan akan terus diingatnya.

Beliau mengaku tidak akan pernah melupakan peristiwa yang merengut nyawa putri bungsunya tersebut. Ketika ditanya seputar pelaku utama G30S/PKI, Bu Nas tampaknya enggan menjawab meskipun saya yakin beliau pasti mendapat penjelasan dari Pak Nas, siapa yang sekiranya dianggap paling bertanggung-jawab dalam peristiwa yang merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia tersebut.

Namun Bu Nas mengatakan bahwa situasi politik Indonesia saat itu memang sedang memanas dan sangat berbahaya, terutama antara Presiden Soekarno, TNI AD dan PKI. Siapapun dalangnya, yang jelas Pak Nas nyaris menjadi korban dan putrinya Ade Irma Suryani serta ajudan Pak Nas, Lettu Pierre Tendean akhirnya justru menjadi korban tak berdosa peristiwa memilukan tersebut. Bu Nas berharap peristiwa tahun 1965 tersebut tidak pernah terulang kembali di bumi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun