Mohon tunggu...
AndiLancök
AndiLancök Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Kata

Alumni Mindanao Peace Building Institute (MPI), Davao City, Filipina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya, Perang dan Damai Aceh

8 April 2021   21:17 Diperbarui: 28 November 2022   14:04 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan pasukan GAM Wilayah Batee Iliek, Bireun | Foto: Dita Alangkara

Pada awal tahun 2004, selain menjadi aktivis gerakan, saya juga aktif menulis dan bergabung dengan media acehkita.com. Sebagai jurnalis dengan liputan2 sederhana yang tentu berkaitan dengan aceh.

Juga ikut menjadi bagian dari redaksi sebuah tabloid LACAK yang fokus pada isu korupsi, dan magang serta tinggal di lembaga Voice of Human Right (VHR) untuk belajar memproduksi berita radio.

Di beberapa media itu saya belajar banyak soal jurnalistik. Mendalami, menulis, menjadi roporter dan belajar mewawancarai tokoh tokoh nasional yang bagi saya adalah sebuah tantangan baru.

Selama di Ibukota, selain bekerja tak menentu, saya juga selalu berada di bawah naungan dan monitoring sebuah organisasi Kalyanamitra. Organisasi yang fokus pada isu perempuan dan anak.

Saya juga dibiaya oleh organisasi tersebut sebagai bagian dari proses kepedulian pada aktivis yang hengkang dari Aceh untuk tujuan keamanan dan 'berjuang' lagi di pusat negara.

Beragam kisah sedih kadang mewarnai hari hari. Apalagi suatu ketika datang kabar, adik kandung saya ditangkap tentara karena dia terlibat sebagai Tentara Aceh Merdeka. Tak ada harapan selamat!

Rumah tempat saya dibesarkan di kampung, diobrak-abrik pasukan pemerintah. Semua perabotan dan fasilitas ludes. Yang tersisa hanya puing.

Ibu dengan terpaksa mengungsi dan berpindah ke lain tempat yang dianggap aman. Saya hanya mendengar keluh kesah dan tangisnya hanya melalui saluran telepon. Hari hari saya begitu gelap.

Lalu, pertengahan dan akhir 2004, Jakarta tak lagi merasa aman. Di bawah kepemimpinan Gubernur Sutiyoso saat itu, ada kabar tak sedap untuk orang Aceh. Perintah untuk mendata warga Aceh pendatang.

Di situlah saya dan banyak rekan merasa didiskriminasi hidup dan tinggal di ibukota. Didata sedemikian detail khusus untuk orang Aceh.

Dengan banyak pertimbangan, Kartu Tanda Penduduk (KTP) kemudian saya ganti nama menjadi Heri Setiawan. Lahir di Lampung. Bukan hanya saya, banyak rekan lain yang melakukan hal serupa demi alasan keamanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun