"Dulu tiap sore aku menunggu tukang pos datang, berharap ada surat darimu."Kalimat itu mungkin hanya kita temukan di film atau novel lama. Tapi percayalah, bagi generasi sebelum internet, surat pos adalah jembatan perasaan, bisnis, bahkan pendidikan.
Kini, pemandangan itu perlahan hilang. Anak-anak muda tak lagi menunggu amplop putih di depan pagar. Mereka menunggu notifikasi di smartphone. Lalu, apakah berarti peran pos benar-benar mati? Jawabannya: tidak. Ia justru sedang bertransformasi.
1. Dari Amplop ke Paket
Perubahan paling terasa adalah isi tas tukang pos. Jika dulu beratnya karena ratusan surat dan kartu pos, kini isi tas (atau truk logistik) didominasi paket belanja online.
Data Asosiasi E-Commerce Indonesia mencatat, pertumbuhan transaksi digital tiap tahun mencapai dua digit. Otomatis, jumlah paket melonjak luar biasa. Petugas pos kini lebih sering mengantarkan bungkusan skincare, elektronik, atau pakaian ketimbang sepucuk surat cinta.
Sebagai praktisi, saya bisa bilang: surat cinta berganti jadi paket cinta. Kalau dulu orang mengirim surat untuk menunjukkan perhatian, kini mereka mengirim hadiah lewat marketplace. Esensinya sama, hanya bentuknya berbeda.
2. Digitalisasi Layanan: Dari Loket ke Aplikasi
Dulu, semua urusan pos harus lewat loket. Bayar listrik? Ke kantor pos. Kirim uang? Ke kantor pos. Beli perangko? Ya, ke kantor pos.
Sekarang, banyak layanan itu sudah pindah ke genggaman tangan. Pos Indonesia, misalnya, punya aplikasi untuk tracking paket, pembayaran, bahkan pengiriman tanpa perlu antre. Inilah yang saya sebut "revolusi senyap": pos tetap hadir, hanya caranya yang berubah.
Di era digital, keberadaan kantor pos bukan sekadar gedung oranye tua, tapi bisa berupa ikon kecil di layar smartphone.
3. Kurir Sebagai "Influencer" Dunia Nyata