Mohon tunggu...
Andi Andur
Andi Andur Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang pemimpi yang berharap agar tidak pernah terbangun dari tidur...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna Tradisi Potong Jari di Papua vs Sumpah Potong-potongan Pejabat

19 April 2016   21:52 Diperbarui: 19 April 2016   21:59 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai seorang mahasiswa yang tidak mengerti politik apalagi mengambil keuntungan dengan berpolitik saya sebenarnya  sangat tidak tertarik dengan berbagai pemberitaan yang beredar sekarang ini. Tetapi, semuanya berubah ketika seorang teman baik saya dari Papua menceritakan adat istiadat mereka di Papua, tradisi potong jari ibu-ibu pasca ditinggal mati sanak keluarga dekatnya (Suami atau anak kandungnya).

Sangat menarik ketika saya mencoba mengaitkannya dengan sumpah-sumpah beberapa public figure negeri ini, ketika sumpah pocong tidak lagi semain stream dahulu kini muncul sumpah “Potong Kuping” bahkan “Potong Burung” yang memenuhi setiap muka media. Entah apa yang mendorong hati mereka berkata demikian, tanpa beban bahkan dengan raut muka serius meyakinkan ucapan mereka (Saya jadi ingat bagaimana Petrus memotong kuping salah satu serdadu pada malam sebelum Yesus dihukum mati) yang membuat saya tertawa sendiri.

Tradisi Potong Jari Ibu-ibu di Papua

Meski sudah mulai hilang, tradisi potong jari tangan ibu-ibu pasca ditinggal mati sanak terdekatnya di Papua tetap menyisahkan  berbagai pertanyaan besar tentang makna dibalik sebuah tradisi yang “Tidak Lazim” ini. Tetapi, secara moral beban batin seorang ibu tidak bisa terhindarkan karena pada hakekatnya ibu selalu memiliki sebuah perasaan cinta yang lebih besar dari siapa pun.

Ada sebuah anonym mengatakan: Kehilangan merupakan sesuatu hal yang sangat tidak diinginkan, apalagi jika yang dimaksud adalah orang yang sangat dicintai. Tetapi, dengan kehilangan kita dapat mengetahui bahwa milik kitalah orang tersebut.

Anonym ini sangatlah masuk akal, seorang ibu pada umumnya lebih banyak berkorban kepada keluarganya (tidak menutupi peran seorang ayah dalam sebuah keluarga), ia akan selalu menjaga jarak terhadap berbagai persoalan dalam keluarga, ia menyimpan semuanya dalam hati tanpa banyak mengeluh dan beberapa orang percaya,  guratan kecil dimata seorang ibu adalah bertanda bahwa ia selalu mengamini setiap apa yang dilihatnya dan menghilangkannya dengan seulas senyum untuk suami dan anak-anaknya. Meski kemudian diketahui berbagai persoalan tersimpan dan terukir pada guratan-guratan dikelopak matanya.

Rasa kehilangan yang amini seorang ibu juga sangat terasa dalam tradisi potong jari ibu-ibu di Papua. Rasa sakit hati atas segala pengorbanannya kepada orang-orang terdekat, ia nyatakan dengan memotong salah satu jarinya. Secara harafiah makna tradisi ini adalah sebagai bentuk kekecawaan kepada sang pencipta yang menurutnya tidak memahami apa yang dirasakannya ketika bersama orang-orang yang dicintai itu, sehingga ia mencoba menunjukannya dengan sangat berani memotong jari salah satu bagian tubuhnya yang adalah pemberian Tuhan sendiri sebagai citraNya.

Tetapi, makna yang sebenarnya adalah dimana dengan memotong jarinya, ia mau menunjukan bahwa ia siap hidup tanpa orang terdekatnya. Rasa sakit hati atas kehilangan ditambah dengan rasa sakit pada tangannya juga adalah bentuk kesiapannya hidup tanpa seorang suami yang menafkahinya dan hidup tanpa anak yang telah dilahirkan, dididik dan dibesarknya dengan segala pengorbanan yang jika dipahami menjadi sia-sia belaka.

Sehingga pada akhirnya lengkaplah sudah bahwa seorang ibu memiliki rasa cinta yang sangat luar biasa pada keluarganya meski harus mengorbankan salah satu bagian dari tubuhnya.

Sumpah potong-potongan pejabat kita

Saya tidak tahu apa yang mendasari berbagai jenis sumpah baru ini mencuat ke permukaan. Dulu Anas Urbaningrum menyatakan siap gantung di Monas jika terbukti korupsi, lalu muncul sumpah pocong oleh beberapa orang yang berusaha merebut pencitraan insan media dan sekarang ketika keduanya sudah terlalu mainstream muncul sumpah baru yang kemudian saya sebut “Sumpah Potong-potongan”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun