Mohon tunggu...
Andi Trinanda
Andi Trinanda Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cuma orang biasa yang ikutan nimbrung memberikan opini tentang berbagai dinamika dan realitas keseharian. Semoga media kompasiana ini bisa menjadi media berbagi informasi dan komunikasi yang produktif dan konstruktif. Jika berkenan anda bisa bersilaturahmi di hompages saya : http://www.andi-trinanda.co.nr

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ridwan Kamil, “dibuang sayang” dalam perhelatan KAA :

24 April 2015   18:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:43 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Foto : Kompas.com"][/caption]

Dari sekian banyak kenangan manis dan positif sebagai masyaraklat dan bangsa terkait digelarnya perhelatan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke 60 di Jakarta dan Bandung tahun 2015 ini, menurut saya ada secuil peristiwa yang sayang jika dibuang percuma. Ibarat adegan dalam sebuah film, perhelatan KAA memang menyajikan begitu banyak gambar dan peristiwa yang layak untuk direkam sebagai sebuah momentum politik sekaligus sejarah dan budaya intelektualitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dari sekian banyak gambar dan peristiwa itu, menurut saya ada sebait dua bait peristiwa politik dan budaya intelektualitas KAA yang sayang jika luput kita diskusikan.

Peristiwa itu adalah mencuatnya dua sosok pemegang mandat sebagai tuan rumah KAA, khususnya yang di Bandung. Dua sosok yang menurut saya sangat menonjol sebelum perhelatan KAA di gelar. Bahkan dua sosok ini (walaupun saya tidak memakai indikator lembaga survey-dan hanya mengacu kepada trending topic di media sosial) popularitasnya justru melejit melebihi sang pemegang hajat, yakni pak Joko sebagai presiden RI.

Dua sosok tersebut adalah Gubernur Jabar, dan siapa lagi kalo bukan si Walikota Bandung ”presiden yang tertukar versi olok-olok  di media sosial karena turis Jerman keliru melihat siapa presiden RI, yakni Ridwan Kamil. Dua sosok ini sempat jadi trending topik karena perannya menyulap kota Bandung menjadi salah satu icon kota yang “bermartabat”. Bahkan berbagai predikat baru kota Bandung berhasil di angkat secara positif sejak Kang Ridwan memimpin Bandung. Gaya kepemimpinanya yang merakyat telah menghipnotis, bukan saja warga Jawa Barat, tapi juga pegiat politik dan komunitas sosial media. Tanpa disadari Fenomena “fans club” akhirnya mengemuka pula seiring dengan pencitraan akan sosok dan gaya kepemimpinannya yang dianggap smart. Semakin popular karena beliau mengikutsertakan Warga Bandung untuk menikmati dan menyambut tamu dari puluhan negara yang akan bertandang ke kotanya. tidak dengan Jakarta yang hanya menjadikan warganya sebagai penonton yang “kesal” karena aktivitasnya terganggu akibat kedatangan puluhaan tamu pemimpin dan delegasi negara dari kawasan Asia Afrika.

Sejarah memang berulang, dulu SBY juga begitu. Masyarakat dahaga akan sosok pemimpin yang tidak gaduh seperti sebelum-sebelumnya. Masyarakat rindu dengan pemimpin yang komunikatif, intelek, kharismatik dan santun bertutur. Begitu pula dengan lahirnya Pak Joko. Perbedaanya hanya pada kelas, SBY merupakan produk kelas nasional, pak Joko adalah produk kelas lokal. Ia adalah produk politik yang lahir atau kalau mau menyebut “diciptakan” secara instan dari tokoh lokal yang memimpin daerah kecil di Jawa tengah menjadi tokoh nasional secepat kilat. Namun perspektif politiknya sama, masyarakat dahaga dengan pemimpin yang turun kebawah sampai ke pasar-pasar, berdialog “mensejajarkan diri” dengan rakyat banyak. Intinya, masyarakat rindu akan sosok yang sederhana,dan gaya kepemimpinan yang tak banyak bicara serta genuine dengan style “blusukan” yang mengguncang simpati public.

Kedua tokoh tersebut lahir dari fenomena fans club karena masyarakat kita menilai sosok dari perspektifnya yang dianggap “baru” dari sosok kebanyakan. Pak Joko dianggap sosok sebagai antitesa dari gaya kepemimpinan yang dianggap cakap dan banyak bicara, namun di persepsikan tak banyak berbuat. Mangkanya ia yang tidak cakap dan tidak pandai bicara itu menjustifikasi gaya kepemimpinannya dengan kalimat “kerja.. kerja dan kerja..”. Apakah itu untuk menutup kekurangannya ? gak jadi soal. Jika dibahas pun akan pajnag dan melebar kemana-mana, dan sudah pasti pendukungnya yang hingga saat ini masih “berpikir ini masih pemilu” pasti membabi buta membelanya. Namun faktanya yang jelas, kedua pemimpin tersebut (SBY dan pak Joko) lahir dari produk pencitraan yang diciptakan sengaja atau tidak sengaja yang berhasil menemukan momentum politiknya sendiri, di zamannya sendiri dengan dinamikanya sendiri-sendiri.

Sekarang, nama Ridwan kamil muncul mengemuka,bahkan di media sosial, sosoknya mulai di gadang-gadang sebagai pemimpin masa depan Indonesia. Seolah kita kembali mengulang sejarah politik fans club di Indonesia. Sebagai masyarakat, saya termasuk geli melihat fenomena ini, namun saya tidak menyangsikan bahwa fenomena inilah yang paling menarik untuk melihat bahwa sejatinya budaya politik pencitraan, apakah ia lahir dengan sendirinya atau sengaja diciptakan, memang menjaid bagian penting dari kultur kepemimpinan politik masyarakat kita. Sah dan tidak sah, positif atau negative, bukanah soal. Memang itulah sejatinya cara seorang pemimpin melakukan upaya untuk mendapatkan momentum eksistensinya dan menjadi value di benak memori masyarakat kita soal kepemimpinannya.

Namun, yang perlu menjadi catatan dari fenomena ini adalah, semoga masyarakat Indonesia juga belajar dari hasil menimbang kedua sosok pemimpin terdahulu (SBY dan Joko). Keduanya memang lahir dalam konteks yang sama, dengan bidan yang sama yakni “pencitraan” public yang genuine menimbulkan simpati publik.

Ridwan Kamil mirip-mirip dengan lahirnya SBY dan Joko. Ia menjadi simbol masyarakat kita yang cepat dahaga akan sosok pemimpin yang dianggap baru dalam hal personality dan gaya kepemimpinan. Kesamaannya yang lain adalah, ia lahir sebagai produk antitesa dari pemimpin sebelumnya. Hal demikian selalu akan berulang, karena wajar masyarakat tentu memiliki ekspektasi terhadap pemimpinnya yang terekam di memori mereka masing-masing. Ujungnya menjadi nge fans, muak atau apatis.Intinya sebenarnya sederhana saja, masyarakat cuma menilai yang katanya dulu berhasil memimpin sebuah kota, harapannya juga berhasil ketika memimpin negara.

Bagaimana dengan Ridwan Kamil ? Benarkah gaya kepemimpinannya yang merakyat, bersahaja, smart dan “enak dilihat “ secara fisik itu juga mengulang sukses dari tesis yang sama karena melihat gaya dan kepemimpinan pak Joko saat ini ? wallhualam bi sawab.

Semoga masyarakat Indonesia makin cerdas menangkap dan menilai sejauhmana kelayakannya dimasa depan dalam politik nasional. Hal tersebut semata-mata agar simpati yang tumbuh menjadi ekspektasi tidak justru berbuah antipati dan akhirnya setiap waktu, kita sibuk menjadi fans baru dari sebuah sosok baru yang akan memimpin bangsa ini kedepan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun