Mohon tunggu...
Andi P. Rukka
Andi P. Rukka Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang belajar menjadi birokrat

Menulis untuk menebar manfaat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kuncup Demokrasi Dari Tepi Danau Lampulung (Bagian Pertama)

31 Juli 2022   13:59 Diperbarui: 23 Agustus 2022   04:33 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagian pertama ini merupakan gambaran singkat tentang Kabupaten Wajo  yang perlu diketahui sekelum mengulas lebih dałam ten tang Sejarang Wajo, dengan judul Sekilas tentang Wajo. Selamat membaca...  

Apa sih yang menarik tentang Wajo? Danau Tempenya? Industri sutranya? Potensi gas Alamnya? Lahan pertaniannya? Atau ada hal yang lain? Banyak, banyak hal yang bisa disebut. Namun salah satu yang terpenting adalah karena ternyata kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan ini pernah menjadi salah satu kerajaan terkemuka di semenanjung Selatan Pulau Sulawesi. Di masa lalu, eksistensi kerajaan Wajo cukup diperhitungkan, baik oleh sekutunya maupun oleh lawannya, termasuk oleh penjajah Belanda, sehingga sejarah tentang keberadaannya harus diangkat ke permukaan supaya tidak dilewatkan oleh generasi mudanya.


Dari berbagai referensi tentang Wajo di masa lalu, kita menemukan banyak informasi bahwa Kerajaan Wajo memiliki banyak keunikan. Namun keunikan yang utama terletak pada struktur dan keanggotaan lembaga pemerintahannya. Di Kerajaan Wajo, ada sebuah lembaga yang disebut Arung Patappuloe. Yaitu sebuah badan yang beranggotakan empat puluh orang bangsawan yang berkedudukan sebagai organ pemerintahan di pusat kerajaan. Konon, lembaga ini merupakan lembaga pemerintah pusat beranggota terbesar yang ada di Semenanjung Selatan Sulawesi pada zamannya.


Lembaga pemerintahan lainnya adalah Tellu Turungeng Lakkae, yang merupakan kumpulan dari berbagai pemangku kepentingan yang ada di Wajo dan terdiri dari tiga wilayah inti Wajo: Limpo Bettempola, Limpo Talotenreng dan Limpo Tua. Tellu Turungeng Lakkae adalah gambaran keterwakilan masyarakat dari setiap wilayah dalam struktur pemerintahan di pusat kerajaan. Dengan begitu, setiap limpo mempunyai jumlah suara yang cukup besar dalam proses pengambilan keputusan penting tentang kerajaan.


Selain Arung Patappuloe yang memegang kekuasaan tertinggi, terdapat jabatan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya dan tidak termasuk dalam anggota dewan pemerintahan Wajo, yaitu Arung Simettempola atau Arung Bettempola dan Arung Penrang.
Keunikan lainnya adalah karena sejak awal para pemimpin Kerajaan Wajo membangun karakter egaliter yang memberikan penghormatan kepada hak-hak rakyat. Banyaknya jumlah orang yang terlibat dalam pemerintahan menunjukkan kebersahajaan dan kesadaran akan keterbatasan kemampuan manusia dalam mengerjakan sesuatu. Seperti yang diungkapkan oleh La Tiringeng To Taba, bahwa mereka membutuhkan lebih banyak orang untuk diajak bermusyawarah tentang jalannya pemerintahan agar keputusan yang diambil lebih berkualitas.


Kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat juga dijamin oleh penguasa. Bahkan jika kondisi kehidupan politik dan ekonomi di dalam negeri sudah sedemikian parah, rakyat bebas meninggalkan kerajaan untuk mencari tempat lain yang lebih nyaman. Demikian pula sebaliknya, ketika situasi sudah berubah kembali kondusif, rakyat pun bebas untuk pulang kembali. Keunikan itu menempatkan Kerajaan Wajo di posisi istimewa sebagai sebuah kerajaan yang memiliki nuansa demokratis yang paling nyata.


Penguasa tertinggi Wajo bergelar Arung Matoa. Meskipun menempati posisi tertinggi di puncak piramida kekuasaan, kewenangan Arung Matoa tidak sebesar kewenangan penguasa dengan kedudukan serupa di kerajaan lainnya.  Beberapa tahun sebelumnya Raja Wajo pernah menggunakan gelar Batara Wajo, namun hanya untuk 3 (tiga) penguasa. Selama keberadaan Wajo, Rata-rata lama pemerintahan Arung Matoa sejak tahun 1479 hingga 1949, adalah sekitar 9 tahun. Dari empat puluh empat penguasa, lima diantaranya memerintah 10 hingga 20 tahun, empat penguasa memerintah sekitar 20 hingga 30 tahun, satu penguasa selama 30 tahun, dan satu lainnya selama 40 tahun. Penguasa yang paling lama memerintah, yaitu selama 30-40 tahun diketahui memiliki kepribadian yang sangat dicintai dan dihormati oleh warga Wajo.


Di dalam konstitusi Wajo, jabatan Arung Matoa tidak diwariskan, melainkan ditentukan oleh pemilihan dan kesepakatan para pemuka masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Arung Patappuloe. Di dalam lembaga itu, ada pula lembaga yang lebih kecil yang hanya beranggotakan 6 orang yang disebut Arung Ennengnge (Enam Orang Bangsawan). Mereka terdiri atas tiga orang Ranreng, semacam gubernur yang mengepalai Limpo atau, suatu unit politik yang menyerupai negara bagian, dan tiga orang Bate’ Lompo atau Panglima Perang. Karena di Wajo hanya ada tiga limpo yang terdiri atas Limpo Bettempola, Talo’tenreng dan Tuwa, maka dua orang perwakilan dari masing-masing Limpo itu jika bergabung menjadi satu jumlahnya 6 (enam) orang. Apabila Arung Matoa bergabung dengan keenam pejabat tinggi ini, maka mereka disebut sebagai Pemimpin tertinggi Wajo (Petta ri Wajo).


Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Wajo adalah bahwa daerah-daerah bawahan Wajo, terutama yang tidak berasal dari ketiga limpo atau daerah inti pembentuk Kerajaan Wajo  – karena tergabung ke Wajo akibat penaklukan atau menggabungkan diri secara sukarela – memiliki  otonomi dalam bentuk dan tata kelola pemerintahannya. Mereka juga bebas memelihara adat istiadatnya sendiri selama tidak bertentangan dengan konstitusi di Wajo. Dengan begitu identitas mereka tetap terjaga meskipun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Wajo.


Sepanjang keberadaannya, perjalanan sejarah Wajo juga dihiasi dengan berbagai tokoh yang menarik untuk kita kenal dan kita jadikan sebagai panutan dalam kehidupan. Wajo pernah memiliki seorang negarawan yang bersahaja. Penguasa yang berani tetapi sekaligus bijaksana. Panglima perang yang gagah perkasa. Ahli hukum yang cerdas, bahkan seorang bocah dengan kebijaksanaan yang mengatasi permasalahan seluruh rakyat Wajo di masanya.


Dari mereka kita mewarisi banyak hal yang secara turun-temurun akan kita teruskan kepada anak cucu kita karena ketinggian nilainya. Produk hukum yang dihasilkan orang Wajo bahkan pernah menjadi salah satu hukum pelayaran tertua di nusantara yang diklaim sangat tidak lazim kalau tidak dapat dikatakan unik, untuk kawasan kepulauan Asia Tenggara. Hukum itu berlaku efektif karena para pelanggarnya akan mendapatkan hukuman dengan keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun