Polisi Republik Indonesia (Polri) adalah salah satu institusi yang dirancang untuk menjalankan fungsi perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 30 ayat (4) yang dengan tegas menyatakan bahwa Polri adalah instrumen atau alat negara yang memiliki tugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Lebih rinci lagi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia hadir sebagai penjelasan tugas Polri sebagai pemberi pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat.
Dalam Polri sendiri, dikenal yang namnaya Tribrata dan Catur Prasetya yang memiliki isi tentang idealisme yang harus dimiliki polisi sebagai insan yang berbakti kepada nusa dan bangsa, menjunjung tinggi kebenaran, serta melindungi rakyat. Secara filosofis, kehadiran Polisi bisa dimaknai sebagai rule of law dan social order, artinya Polri hadir sebagai penopang kedamaian dan ketertiban agar masyarakat merasa nyaman, tentram, dan aman.
Kerapkali, telah tertanam anggapan bahwa polisi adalah figur netral yang hadir demi keamanan dan ketertiban, seperti pada peraturan yang telah disebutkan diatas. Namun, idealitas ini kerap hanya jadi mitos konstitusional yang menutupi kenyataan bahwa kepolisian di Indonesia tidak sepenuhnya menjalankan tugas yang telah diamanahkan, melainkan hanya menjadi instrumen untuk kebutuhan penguasan dalam mengontrol masyarakat.
Jika ditarik mundur dalam sejarah awal kepolisian, maka terlihat bahwa polisi dalam masa kolonial bukan menjadi penjaga keadilan, namun perpanjangan tangan kekuasaan Belanda dalam mendisiplinkan para Pribumi. Seiring berjalannya waktu, banyak penyesuaian yang dilakukan terhadap Kepolisian, mulai dari tugas pokok dan fungsi, hingga dipertegas dalam aturan. Namun, DNA represif yang semula hadir di masa kolonial, masih terbawa hingga saat ini. Ketika di masa kolonial Polisi hadir sebagai instrumen untuk memastikan roda kekuasaan kolonial berjalan tanpa gangguan, maka hari ini Polisi hadir sebagai instrumen untuk memastikan roda kekuasaan para elit pemerintah, bahkan hingga oligarki mampu terus berjalan tanpa adanya gangguan.
Reformasi 1998 terlihat seakan memberi angin segar, yaitu adanya pemisahan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dengan jargon tranformasi menuju kepolisian yang sipil dan adanya paradigma humanis.
Budaya Represif dalam Institusi Kepolisian
Di tubuh kepolisian, kekerasan bukan sekadar alat, tapi sudah jadi bahasa sehari-hari. Kata "tegas" yang sering dipakai pejabat polisi di depan kamera, dalam praktiknya kerap berarti "represif." Dari generasi ke generasi, cara mendisiplinkan massa, cara menghadapi protes, hingga cara menginterogasi, diwariskan dengan pola yang sama: keras dulu, urusan keadilan belakangan. Kultur ini membentuk semacam ingatan institusional: polisi baik adalah polisi yang bisa memukul balik, bukan yang mampu merangkul.
Struktur hierarkis kepolisian juga memperkuat pola ini. Dengan rantai komando yang kaku, aparat di lapangan terbiasa mematuhi perintah tanpa ruang untuk bertanya. "Loyalitas ke atas, kekerasan ke bawah" menjadi semacam kode tak tertulis. Kepatuhan rigid inilah yang membuat aparat bisa dengan mudah menjustifikasi tindakan brutal karena bagi mereka, itu bukan soal moral, melainkan soal menjalankan perintah. Dalam logika ini, represi bukan penyimpangan, tapi bukti loyalitas.
Lebih jauh, represi dalam institusi kepolisian sudah ternormalisasi. Kekerasan dianggap sah, bahkan perlu, selama bisa dibungkus dengan dalih "menjaga ketertiban." Aparat yang memukul demonstran atau membubarkan aksi dengan gas air mata tidak dilihat sebagai pelanggar, melainkan sebagai eksekutor ketertiban. Budaya ini melahirkan pembalikan logika: korban represi dianggap pengacau, sementara pelaku represi mendapat legitimasi sebagai pahlawan stabilitas.
Kacamata Authoritarian Personality
Konsep authoritarian personality yang diperkenalkan Adorno dan koleganya pasca Perang Dunia II lahir dari kegelisahan yang sangat relevan hingga hari ini: mengapa begitu banyak orang bisa tunduk buta pada otoritas, bahkan ketika otoritas itu melegitimasi kekejaman? Studi mereka menemukan bahwa kepribadian otoriter ditandai oleh kepatuhan rigid terhadap otoritas, disiplin kaku, cara pandang yang hitam-putih, serta kecenderungan melampiaskan agresi pada kelompok yang dilabeli "berbeda" atau "berbahaya." Dengan kata lain, mereka tidak sekadar taat; mereka menemukan rasa aman, bahkan rasa benar, justru ketika menindas atas nama otoritas.