Saya akan mulai dengan salah satu karya nasional yang berhasil menceritakan dengan cukup detail alur kehidupan Basuki Tjahaja Purnama yakni  "A Man Called Ahok" yang rilis pada awal November 2018 lalu. Â
Film karya Putrama Tuta ini tak hanya menyuguhkan alur cerita yang ciamik, tapi juga membawa banyak nama seperti Eric Febrian, Eriska Rein, Denny Sumargo, Sita Nursanti, Chew Kin Wah, sampai Daniel Mananta menjadi sorotoan atas kepiawayan mereka memerankan tokoh-tokoh krusial dalam hidup Ahok.
Secara garis besar film ini berkisah tentang setengah dari masa kecil Ahok, dan dilanjutkan dengan masa muda Ahok di Gatong, Belitung Timur, pada rentang tahun 1976 sampai 2000-an.
Perjalanan panjang sudah ada sejak Ahok masih terbilang kecil dimana banyak nilai kehidupan yang berusaha dipupuk oleh sang ayah, Kim Nam, kepada kelima anaknya. Kim Nam merupakan seorang tauke yang mempunyai pertambangan timah di daerah Gantong.Â
Kim Nam dapat dikatakan 'populer' di kalangan masyarakat, namun bukan karena pertambangan timah yang dimilikinya, melainkan karena sisi murah hati dimana ia tak pernah ragu untuk membantu warga yang tengah memerlukan bantuan khususnya dalam ranah finansial meski kala itu bisnis keluarga Kim Nam tengah surut hingga menjadi keresahan bagi sang istri dikarenakan semakin menipis pula keuangan keluarga mereka.Â
Meski begitu kehidupan Ahok pada masa itu bisa dibilang berkecukupan dibanding anak-anak lain di daerah tersebut.
Meski dikisahkan memiliki jiwa humanis yang tinggi, Kim Nam tak segan mendidik anak-anaknya dengan keras dan disiplin. Kim Nam juga mempunyai harapan besar agar anak-anaknya kelak menjadi pejabat, dokter, dan pengacara. Tetapi bukan semata-mata untuk sebuah gelar, melainkan guna membangun Belitung agar masyarakatnya semakin dimudahkan dalam akses kesehatan, demokrasi, dan keadilan.
"Kau sekolah yang benar, biar bisa bangun Belitung"
Representasi Makna Nasionalisme yang Relevan di Jaman Sekarang
Dari pemaparan singkat di atas, film berdurasi satu jam empat puluh lima menit tersebut sedikit banyak memunculkan adanya rasa cinta akan tanah perjuangan khususnya bagi Belitung.
Lantas, apakah hal tersebut dapat disebut nasionalisme?
Kusumawardani dan Faturochman (2004) mendefinisikan nasionalisme dengan melihat pada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mempu membangkitkan kekuatan berjuang melawan kolonialis beratus-ratus tahun yang lalu dengan adanya perbedaan etnik, budaya, dan agama yang membentuk kebangsaan Indonesia. Hal ini membuat "nasionalisme" dikenal sebagai sebuah kata yang sakti.