"Bahagia tidak perlu sempurna" itu adalah kata-kata yang selalu aku tanamkan pada diri ini yang kadang kala selalu banyak mengeluh dengan keadaan sendiri tanpa melihat keadaan orang lain diluar sana. Aku terlalu terlena dengan definisi bahagia yang berkecukupan, bisa membeli apa yang kita inginkan dan bisa pergi ke tempat yang kita dambakan. Tapi ternyata tidak, setelah aku bertemu dengan orang yang "istimewa" itu. Namanya Bryan, dia adalah muridku yang sangat "istimewa" dan membuat definisi bahagia dalam hidupku berubah drastis daripada sebelumnya. Hello, namaku Analisa Apriliani. Aku adalah seorang mahasiswi semester 5 Prodi Pendidikan Bahasa Arab di salah satu perguruan tinggi negeri di ibukota yakni salah satu kampus yang mencetak banyak tenaga pendidik profesional yakni Universitas Negeri Jakarta atau yang dulunya terkenal dengan IKIP. Pendidikan Bahasa Arab awalnya bukanlah prodi yang aku terlalu inginkan karena dulu aku kurang suka mengajar dan juga kurang suka bahasa Arab karena sulit dipelajari daripada bahasa lainnya. Tapi seiring berjalannya waktu aku sangat menikmati jurusan kuliahku dan mendapat banyak jalan menuju kesuksesan. Mulai dari banyak mendapat ilmu kebahasaan, bahasa Arab yang mengubah pola pikir dalam dunia kerja, juga memberikan stigma bahwa semua bahasa itu banyak memberikan keuntungan dalam kehidupan. Keuntungannya, dengan bahasa orang dapat lebih mengerti dan paham bukan hanya berkomunikasi tapi juga psikologi orang sekitarnya dilihat dari tutur katanya sehari hari. Aku adalah tenaga pendidik di salah satu Taman Kanak-Kanak Terpadu Islam di Rawamangun, tidak jauh dari kampus tempatnya. Disana aku banyak mendapat pelajaran dan mulai mencintai anak-anak juga proses belajar yang mereka lalui selama pembelajaran berlangsung. Tapi setelah datangnya pandemi dan mengharuskan semua kegiatan pendidikan dilakukan secara daring di rumah, aku pun terpaksa kuliah daring dan tidak mengajar kembali di TK tersebut. Di awal masa pandemi aku sangatlah kecewa dengan semua apa yang telah terjadi. Mulai dari hilang pekerjaan, kuliah hanya dirumah, ya.. yang paling menyakitkan adalah mata pencaharianku hilang karena dipaksa keadaan. Sampai pada akhirnya setelah kurang lebih 5 bulan dirumah, ada tawaran untuk mengajar 2 anak secara private di tempat yang berbeda tepatnya Jakarta timur dan Jakarta Utara. Aku pun bergegas untuk merantau kembali di ibukota untuk memulai mengajar kembali yang bedanya secara private. Tak pernah ku sangka akan mendapat murid yang "istimewa" seperti dia. Dia adalah Bryan, anak istimewa yang mengidap autis tepatnya disintegrative disorder.Â
Umurnya 9 tahun, dia memang tumbuh dan berkembang beda daripada anak sebayanya. Komunikasi dan belajarnya kurang lancar tetapi ada banyak kelebihan yang dia pendam. Awalnya aku pesimis, takut, dan merasa tidak mampu untuk mengajar dia sampai bisa. Tapi ibunya menguatkanku untuk tetap membimbingnya belajar agar dia bisa seperti anak pada umumnya. Disitu tekadku pun kuat agar bisa mengajarkannya sedikit demi sedikit membaca, menulis dan dasar agama. Hari demi hari ku lewati, awalnya sangat sulit mengajarkannya karena daya tangkap dan cara belajarnya berbeda dari anak biasanya, tetapi semakin hari semakin berkembang setiap belajarnya. Alhamdulillah, tak hentinya ku ucapkan syukur tatkala dia sudah mulai bisa mengikuti pembelajaran dengan baik dan dengan progress yang setiap belajarnya selalu naik. Terkadang aku sangat lelah karena mengajar anak istimewa ini energi yang aku keluarkan harus lebih extra daripada biasanya. Karena terkadang geraknya yang tak terduga dan mood yang selalu berubah dimana aku harus mati matian membujuknya untuk kembali belajar. Tapi aku ingat pesan orangtuaku di desa, dimana pesannya itu "bekerjalah seperti kurir paket JNE, mereka menerjang panas dan dingin demi paket pelanggan yang harus diantar, selalu mengantar dengan ikhlas dan memberi senyuman kepada pelanggan tanpa beban. Juga seharusnya kamu, belajar dari sana untuk belajar tetap kuat, ikhlas dan penuh senyuman guna masa depan murid yang gemilang". Dari pesan itu lebih menguatkan ku untuk tetap semangat dalam mengajar Bryan ini. Suatu hari aku mengajarkannya untuk mulai menulis, awalnya sangat sulit dan apabila dibayangkan sangat tidak mungkin untuknya belajar menulis seperti ini. Tetapi tanpa ku sadari dirinya sudah mulai bisa memegang pulpen dengan masih kaku karena tak biasa. Untuk meningkatkan semangatnya ku berikan choki-choki agar membuatnya semangat dan bahagia. Bukan main, girangnya luar biasa dan semangat belajarnya meningkat seketika. Dari situ aku selalu berikan reward ketika dia banyak mendapat progress ketika belajar seperti ku berikan choki-choki ataupun yupi kesukaannya. Senyum bahagia selalu dia berikan kepadaku tatkala dia bisa melewati belajarnya hari ini dan mendapat choki-choki, itu adalah kebahagiaanku tak terhingga, melihat senyum bahagia muridku disaat lelah mengajarnya. Ah, tak terasa progress belajarnya semakin hari semakin banyak.Â