Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Senyumnya Menggambarkan Bahwa Kebahagiaan Itu Tidak Perlu Sempurna

31 Desember 2020   10:29 Diperbarui: 31 Desember 2020   10:50 163 2
"Bahagia tidak perlu sempurna" itu adalah kata-kata yang selalu aku tanamkan pada diri ini yang kadang kala selalu banyak mengeluh dengan keadaan sendiri tanpa melihat keadaan orang lain diluar sana. Aku terlalu terlena dengan definisi bahagia yang berkecukupan, bisa membeli apa yang kita inginkan dan bisa pergi ke tempat yang kita dambakan. Tapi ternyata tidak, setelah aku bertemu dengan orang yang "istimewa" itu. Namanya Bryan, dia adalah muridku yang sangat "istimewa" dan membuat definisi bahagia dalam hidupku berubah drastis daripada sebelumnya. Hello, namaku Analisa Apriliani. Aku adalah seorang mahasiswi semester 5 Prodi Pendidikan Bahasa Arab di salah satu perguruan tinggi negeri di ibukota yakni salah satu kampus yang mencetak banyak tenaga pendidik profesional yakni Universitas Negeri Jakarta atau yang dulunya terkenal dengan IKIP. Pendidikan Bahasa Arab awalnya bukanlah prodi yang aku terlalu inginkan karena dulu aku kurang suka mengajar dan juga kurang suka bahasa Arab karena sulit dipelajari daripada bahasa lainnya. Tapi seiring berjalannya waktu aku sangat menikmati jurusan kuliahku dan mendapat banyak jalan menuju kesuksesan. Mulai dari banyak mendapat ilmu kebahasaan, bahasa Arab yang mengubah pola pikir dalam dunia kerja, juga memberikan stigma bahwa semua bahasa itu banyak memberikan keuntungan dalam kehidupan. Keuntungannya, dengan bahasa orang dapat lebih mengerti dan paham bukan hanya berkomunikasi tapi juga psikologi orang sekitarnya dilihat dari tutur katanya sehari hari. Aku adalah tenaga pendidik di salah satu Taman Kanak-Kanak Terpadu Islam di Rawamangun, tidak jauh dari kampus tempatnya. Disana aku banyak mendapat pelajaran dan mulai mencintai anak-anak juga proses belajar yang mereka lalui selama pembelajaran berlangsung. Tapi setelah datangnya pandemi dan mengharuskan semua kegiatan pendidikan dilakukan secara daring di rumah, aku pun terpaksa kuliah daring dan tidak mengajar kembali di TK tersebut. Di awal masa pandemi aku sangatlah kecewa dengan semua apa yang telah terjadi. Mulai dari hilang pekerjaan, kuliah hanya dirumah, ya.. yang paling menyakitkan adalah mata pencaharianku hilang karena dipaksa keadaan. Sampai pada akhirnya setelah kurang lebih 5 bulan dirumah, ada tawaran untuk mengajar 2 anak secara private di tempat yang berbeda tepatnya Jakarta timur dan Jakarta Utara. Aku pun bergegas untuk merantau kembali di ibukota untuk memulai mengajar kembali yang bedanya secara private. Tak pernah ku sangka akan mendapat murid yang "istimewa" seperti dia. Dia adalah Bryan, anak istimewa yang mengidap autis tepatnya disintegrative disorder. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun