Mohon tunggu...
Nisa Khoiriyah
Nisa Khoiriyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mulailah tanpa kata nanti.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Salah Siapa?

10 September 2019   00:49 Diperbarui: 10 September 2019   08:27 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mimpi Itu Nyata Gak Sih?| Dokumentasi www.gb15photoworks.com

"Abaikan saja, abaikan saja aku yang telah bersemayam di dalam pikiranmu yang telah usang ini." -Mimpi-

Dialog itu terngiang - ngiang belakangan ini. Seketika aku merenung dan tenggelam dalam pikiranku saat suara itu bersahutan di dalam sana. Aku kesal, marah, dan merasa tidak berguna. Sebenarnya apasih yang telah aku lakukan selama ini hingga aku tak sempat mengurus ide - ide gila ku yang telah kujuluki sebagai Mimpi itu.

Selama ini, waktu ku habiskan untuk belajar dan mengerjakan tugas - tugas dari kampus. Aku merasa kualahan dengan semua ini. Belum lagi ada seminar, kegiatan sosial, dan ekstrakulikuler yang harus kuhadiri rutin setiap minggunya. Hal ini membuatku lupa akan impian besar yang pernah aku rencanakan tahun - tahun sebelumnya. Aku terlampau sibuk hingga waktu tak bersisa untuk menyentuh impianku ini.

"Bukan tak sempat. Kamu aja yang males!" -Mimpi-

Haruskah, aku mengatas namakan rasa malas atas tanggung jawabku terhadap Mimpi yang kulalaikan. Sungguh, pecundang sekali aku ini. Untuk hal yang berkaitan dengan masa depanku saja, aku meyalahkan orang lain. 

Memang sih, malas itu datangnya dari diri sendiri. Tapi, bagiku malas bukanlah bagian dari diriku. Sehingga aku tak perlu menggunakan kata malas untuk mendeskripsikan penyebab terabaikannya si mimpi. Pada dasarnya, aku bisa kok, melawan dan mengusir rasa itu jauh - jauh. 

"Emang gue pikirin. Tetep aja ini semua salah lo!" - Mimpi-

Terus saja, mimpi ini mendesakku untuk berpikir keras. Sebenarnya siapa sih yang harus disalahkan. 

Dari sinilah, aku mulai untuk memahami diri sendiri. Aku berusaha untuk mengenal diriki dan mecari jati diriku. Sebagai hasilnya, aku dapat mengetahui kebutuhan apa saja yang harus kupenuhi agar si Mimpi tidak diabaikan terus - menerus. 

Aku berusaha untuk memutar kembali kenangan yang telah kulalui sejak saat Mimpi itu dipatenkan di otakku. Aku mengidentifikasi point - point yang menjadi penyebab tidak terurusnya si Mimpi. 

"Ahaaa."

"Aku ingat."

Aku pernah bermimpi untuk menjadi seorang researcher di masa depan. Aku terlalu fokus untuk mewujudkan hal ini hingga aku mengabaikan pepatah lama yang berbuyi "Mimpi itu harus dirajut." Betapa bodohnya aku tidak memahami arti dari pepatah ini. Ibaratnya, ada seorang prajurit hendak pergi berperang, akan tetapi, ia tidak mempunyai persiapan sama sekali. Begitulah kondisi diriku saat ini. Tiba - tiba ingin jadi researcher. Tapi, aku sendiri tidak mempersiapkan skill yang aku punya seperti menulis, membaca, melakukan analisis, menggali ide, dsb. Semestinya, dari perintilan - perintilan itulah aku memulai langkahku. Hal - hal kecil inilah yang akan menjadi benang yang nantinya akan ku untai untuk dijadikan sebuah karya yaitu Mimpi.

Pepatah lama tersebut juga memberiku sebuah pesan yaitu tak ada yang instan di dunia ini. Bahkan mie instan dua ribu lima ratusan yang biasanya kumasak pun tidak layak disebut instan. Ada proses yang disebut membuka kemasan, merebus, meniriskan mie tersebut, dan mencampurkan makanan bertepung ini dengan bumbunya. Tidak akan ada kelezatan yang tercipta tanpa ada nya proses - proses tersebut. Dari sinilah aku tersadar. Mimpi yang selama ini kugenggam, akan selamanya ada di dalam genggaman jikalau aku tidak merealisasikannya. 

"Tapi, membuat hal yang bersifat imajinatif itu menjadi nyata sangatlah sulit."

"Aku gak bakalan bisa."

"Aku capek."

"Huft."

Teruslah saja pikiran ini berkecamuk. Bentrok antara akal, fisik, dan nurani menjadi makanan setiap harinya. Mencari jalan tengah untuk mengakhiri perdebatan mereka bukanlah hal yang mudah. Namun, ini harus dilakukan. Bagaimanapun caranya, mencari jalan keluar adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan. 

Akan tetapi, jawaban yang dinginakan tak kunjung aku dapatkan. Hanya rasa lelah yang saat ini mendominasi pencarianku. Aku telah mengusahakan banyak hal dan alternative lain yang mungkin saja dapat memupuk Mimpi ku ini. Kesadaran yang ku dapatkan sebelumnya belum memberi sumbangsih yang besar terhadap kemajuan Mimpi ini sendiri. 

Aku berdoa, aku berpasrah, aku bahkan telah menyerahkan segala urusanku kepada Tuhan. Aku percaya, Dia yang menghendaki terjadinya sesuatu di dunia ini. Ada yang berkata, Tuhan itu Maha Pengabul segala doa. Masalahnya, siapa yang dpat mengukur keseriusan kita dalam berdoa. Siapa yang dapat memastikan bahwa cara kita memasrahkan suatu urusan kepada Tuhan itu benar atau salah. Tidak ada yang tahu. Namun, hal in

Aku bingung.

 Siapa yang mesti disalahkan. 

Usahaku yang kurang dalam mewujudkan Mimpi atau hubunganku dengan Tuhan yang kian mengendur?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun