Mohon tunggu...
Anak Langit
Anak Langit Mohon Tunggu... -

Kisah petualangan Anak Langit dalam memerangi degradasi moral di negeri pelangi yang sangat korup dan carut marut oleh keserakahan itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hanya Gila Tapi Tidak Bodoh

28 Maret 2010   09:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:09 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

aldnp 07

Kini di jalan yang ramai dipadati lalu lintas itu ia meliuk-liuk memacu motor kesayangannya itu agar segera sampai ke rumah Jira. Ia sungguh penasaran ingin tahu berita apa yang akan disampaikan karibnya itu. Motor itu seakan bernyawa dan mengerti maksud pengendaranya, menyusup dengan mulus diantara mobil-mobil atau sesama motor lainnya. Andragi juga merasa yakin motornya akan melindunginya dan membawanya dengan selamat ke tujuan. Ia yakin sekali! Bukankah ayah dan ibunya sendiri yang sedang mengantarnya? Mereka tentu tidak akan mencelakakannya.Rasa penasaran yang kuat serta keyakinan akan perlindungan kedua orang tuanya membuatnya memutar gas lebih cepat lagi di jalan yang ramai itu. Tetapi, bukannya motornya makin cepat malah terdengar suara ‘mbrebet’ dan lajunya semakin lambat. Dicobanya berulang kali memutar gas lebih dalam, tetapi motor itu tetap melambat. Ia terpaksa meminggirkan kendaraannya dan berhenti di tepi jalan, untuk memeriksa.

“Mungkin bensinnya tidak lancar, atau businya sudah mulai usang sehingga tidak bekerja dengan baik,” pikirnya.

Dengan hati-hati didirikannya sepeda motor itu pada standarnya, dan berjongkok untuk memeriksa busi dan saluran bensinnya.

“Bapak, Ibu,” katanya kepada motornya itu. “Ada apa? Adakah sesuatu yang salah dari anakmu ini? Maafkan saya bila kurang merawat bapak dan ibu sehingga bensin atau businya tidak berjalan baik. Ijinkan saya memeriksanya,” katanya memohon kepada motor itu.

Dari jarak 2 meter di dekatnya, dua orang wanita yang kebetulan sedang menanti kendaraan umum, memperhatikan kelakuannya yang aneh itu. Mereka berdua tampak berbisik-bisik dan tersenyum-senyum.

“Orang itu aneh, mbak. Masak motornya diajak bicara, dengan serius lagi,” kata yang satu.

“Iya, orang gila kali,” timpal wanita yang satunya.

“Tapi kok pakaiannya seperti orang kantoran? Dia itu stress apa ya?” sahut kawannya.

Andragi tahu kalau kedua wanita itu sedang membicarakan keanehan dirinya, tetapi ia tidak peduli. Baginya motor itu memang menghadirkan ayah dan ibunya disitu. Ia lalu mengambil obeng dan peralatan yang ia perlukan dari balik jok motornya. Pertama-tama dibukanya busi dengan kunci busi. Ia lalu mengeluarkan ampelas (kertas pasir), membungkus tangan kirinya dengan sehelai kain agar tidak kepanasan saat memegang busi yang masih terasa panas lalu menggosok bagian-bagian pengapian pada busi itu dengan ampelas. Sesekali ditiupnya untuk mengusir kotoran yang masih melekat disana.

“Bapak, Ibu, busi ini masih bagus. Kering dan tidak kotor. Umur pakainya masih baru. Kenapa ya? Akan kuperiksa dulu pengapiannya,” katanya dengan serius.

Kedua wanita itu semakin geli melihat kelakuannya, lalu tersenyum dan berbisik satu sama lain. Andragi memasang kembali busi pada tempatnya, lalu mengencangkannya dengan kunci busi. Diraihnya ujung kabel yang menghubungkan busi itu dengan bagian lain mesin sepeda motor. Didekatkannya kabel itu ke ujung busi dan men-start motornya. Tampak loncatan api dari ujung busi itu ke ujung kabel.

“Bapak, Ibu. Busi ini bekerja dengan baik. Mungkin saluran bensinnya yang tidak lancar, ya Pak? Kenapa bapak tidak menjawab?”

Kedua wanita itu kini melongo melihat kepandaiannya mengutak-atik busi motor itu.

“Mbak, kok orang gila bisa pintar sih?” tanya wanita yang tampak sedikit lebih muda.

“Dia itu cuma gila, tapi tidak bodoh, tahu!” kata si mbak.

“Mbak nyindir ya?”

“Kalau merasa ya syukur. Karena banyak orang yang tidak gila tapi bodoh! Beda, tahu!” jawab si mbak.

Yang muda mencubit gemas lengan si mbak. Merekapun cekikikan sampai tidak memperhatikan kendaraan umum yang mereka tunggu berlalu begitu saja. Mereka justru semakin tertarik dengan kelakuan pemuda ini. Apa lagi yang akan dilakukannya? Keduanya kini tidak berusaha menyembunyikan lagi ketertarikan mereka memperhatikan kelakuan ‘orang gila’ itu. Mereka bahkan berusaha mendengar percakapannya dengan motornya, dan tanpa sadar mendekat.

Andragi lalu membuka bagian karburator dan memeriksa apakah pelampung yang mengatur saluran bensinnya bekerja dengan baik.

“Bapak, Ibu…, bensinnya tidak luber kemana-mana. Pelampung ini bekerja dengan baik. Kenapa bapak dan ibu tidak mau mengantar saya dengan cepat? Jira sedang menunggu saya di rumahnya,” ia bertanya pada motor itu, lalu diam seakan sedang memperhatikan motor itu berbicara.

Kedua perempuan itu memasang telinga mereka dengan seksama, membungkukkan badan sambil saling berpegangan tangan. Mereka bisa mendengar setiap kata yang keluar dari mulut ‘orang gila’ ini. Kini mereka heran melihat pemuda itu seakan sedang mendengarkan dengan penuh perhatian dan rasa hormat pada motornya.

“Oh begitu? Jadi saya harus hati-hati, tidak boleh terburu-buru,” ia diam sejenak. Lalu berkata,

“Baik pak, baik bu. Maafkan saya. Saya akan berhati-hati,” katanya lagi.

Tidak tahan menyaksikan adegan yang aneh dan menggelikan itu, wanita yang lebih muda nekat bertanya kepada pemuda itu. Si mbak menggamitnya, mencoba mencegah, tetapi dia tidak peduli.

“Apa kata motor itu, mas?” tanyanya tanpa ragu.

Mendengar ada yang menyapanya, Andragi lalu berdiri. Ia membalikkan badan dan tersenyum. Si mbak dengan keras mencengkeram tangan kawannya, bersiap membawanya lari. Tetapi diurungkannya niatnya itu manakala ia melihat senyum pemuda itu. Senyum itu senyum yang normal. Wajar, sewajar-wajarnya orang yang waras. Malah terkesan bersahabat sekali. Dan mata pemuda itu itu berbinar ramah seiring dengan senyumnya. Bukan mata yang liar dengan pandangan hampa sebagaimana wajarnya orang gila.

“Oh, selamat sore mbak,” sapa pemuda itu.

Kedua wanita itu hanya bisa mengangguk, masih ragu.

“Iya, mbak..Kedua orang tua saya menasihati saya agar berhati-hati tidak ngebut naik motor. Kalau terjadi kecelakaan, bukan hanya saya saja yang rugi, tetapi bisa merugikan orang lain yang terkena. Juga akan merepotkan orang-orang yang mesti mengurusnya. Kasihan kan, mereka tidak makan nangka tapi kena getahnya,” lanjutnya.

Keduanya terpana mendengar uraian pemuda itu. Tetapi wanita yang lebih muda segera kembali dengan keingintahuannya.

“Lalu, bagaimana dengan motornya, mas,” tanyanya.

“Bapak dan Ibu saya tidak apa-apa. Mereka sengaja menahan lajunya bensin sehingga pembakarannya terlambat jadi tidak bisa lari kencang. Sekarang saya akan merapikan kembali pelampung bensin ini. Pasti sudah bisa berjalan lagi dengan semestinya,” jawab pemuda itu yakin.

Ia lalu merapikan kembali motornya, dan mengembalikan peralatan yang tadi ia gunakan pada tempatnya di balik jok. Dengan tidak sabar wanita yang lebih muda itu memintanya menghidupkan motornya.

“Coba mas, di start,” desaknya.

“Baik mbak, akan saya hidupkan.”

Diputarnya kunci kontak, lalu menggenjot pedal starter. Dalam seketika mesin motornya meraung kala gasnya diputar. Motor itu normal seperti tidak pernah mengalami kerusakan apapun. Andragi tersenyum kepada kedua wanita itu.

“Benar kan mbak? Nggak ada apa-apa kok. Saya cuma nggak boleh ngebut saja. Selamat sore,..” katanya sambil menjalankan motornya dengan pasti dan melaju secara normal.

Kedua wanita itu hanya bisa bengong melihat semua kejadian tadi.

“Dunia memang sudah gila,” kata wanita yang lebih muda.

“Jangan-jangan kita berdua ini yang sudah gila lho!” timpal si mbak.

sebelumnya l sesudahnya



  1. Kejar dan Habisi Dia !
  2. Begini Rasanya Mati
  3. Pagar Makan Tanaman
  4. Membongkar Pembelian Fiktif
  5. Antara Pacar dan Sepeda Motor
  6. Senyum Yang Terindah
  7. Hanya Gila Tapi Tidak Bodoh
  8. Dia yang Berkotbah, Dia Yang Korup
  9. Para Saksi Harus Dilenyapkan
  10. Pemerintahnya Ganti, Sistemnya Sama Saja
  11. Korupsi Berjamaah: Sistemik
  12. Korupsi Berjamaah: Mentalitas Proyek
  13. Bos Koruptor Di Posisi Kunci

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun