Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Berusaha Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat

Pensiunan Pengawas Sekolah, kini Wartawan Forum Keadilan Bali.com, Pemerhati Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Agar Sekolah Rakyat Berdampak

24 April 2025   07:10 Diperbarui: 24 April 2025   13:51 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi Proses Pembelajaran di salah satu sekolah di Kab. Bangli Bali, ( sumber Photo: Koleksi Pribadi)

Pemerintah memutuskan untuk membangun sekolah rakyat di Indonesia mulai tahun pelajaran 2025/2026 mendatang. Pembangunan sekolah rakyat merupakan bukti kongkrit upaya pemerintah untuk memutus mata rantai kemiskinan struktural di tanah air. Seluruh kompoenan masyarakat tentu sangat mengapresiasi program pemerintah ini. Sebab pendidikan merupakan salah satu piranti yang dipercaya akan mampu mengangkat harkat dan martabat manusia. Pendidikan bukan saja mampu membangun kesadaran individu tentang potensi dirinya, namun yang lebih penting pendidikan akan menumbuhkan kesadaran seseorang tentang peran yang bisa dilakukan dalam lingkup sosialnya. Hal itu sejalan dengan pendapat Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi yang menyebutkan pendidikan bukan hanya merupakan hak asasi manusia, namun merupakan alat fundamental manusia untuk memperluas kebebasan individu baik pada bidang sosial, politik maupun ekonomi sehingga bisa keluar dari kemiskinan struktural.

Kembalinya sekolah rakyat seakan membangunkan kembali sejarah masa lalu bangsa Indonesia. Kenapa? Pada tahun 1907 ketika kita masih dalam pendudukan kolonial Belanda berdiri volkschool . Lembaga ini didirikan dengan tujuan memberikan pengetahuan dasar membaca, menulis dan berhitung untuk anak-anak pribumi. Selanjutnya tahun 1914 sekolah ini berubah menjadi Sekolah Rakyat (SR) dengan masa belajar selama 5 tahun. Ketika masa pendudukan Jepang Sekolah Rakyat dikenal dengan sebutan Kokumin Gakk dengan masa belajar ditambah dan menjadi enam tahun. Lepas dari masa kolonial, tepatnya tanggal 13 Maret 1946 Sekolah Rakyat resmi berubah menjadi Sekolah Dasar (SD) sebagaimana yang dikenal saat ini.

Kini, pada masa pemerintahan Presiden Prabowo, pembangunan sekolah rakyat tentunya memiliki tujuan yang jauh lebih substantif dan fundamental dibandingkan dengan masa kolonial Belanda. Pelaksana teknik sekolah rakyat Kementrian Sosial Republik Indonesia. Penunjukan Kemensos sebagai pelaksana teknis sekolah rakat ini memang memunculkan polemik, pro kontra. Sebagian masyarakat menilai penunjukan Kemensos untuk menangani kegiatan teknis yang bukan bidangnya akan berpotensi memunnculkan beragam tumpang tindih kebijakan, anggaran, maupun mekanisme evaluasi. Pemerintah tampaknya bergeming dengan polemik tersebut. Alih-alih melakukan kaji ulang, namun dalam sejumlah kesempatan Presiden Prabowo Subianto berharap Sekolah Rakyat bisa berdiri di setiap Kabupaten / Kota di Indonesia.

Tantangan dan Hambatan.

Sebagai sebuah inisiatif baru, program ini akan menghadapi sejumlah hambatan dan tantangan. Keterbatasan anggaran, ketersediaan sumber daya guru, serta kemungkinan resistensi dari masyarakat yang selama ini terlanjur pesimis dengan sejumlah program pemerintah mungkin menjadi sejumlah permasalahan yang akan dihadapi. Kebijakan efesiensi anggaran yang dilakukan pemerintah tentunya membuat program sekolah rakyat ini menghadapi tantangan tersendiri. Sebagai sebuah inisiatif baru yang melibatkan banyak orang, Program Sekolah Rakyat membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit. Jika memang sekolah ini dirancang untuk memberikan pelayanan maksimal dan berkualitas kepada peserta didik, maka pemerintah tidak hanya cukup membangun sarana pendukung berupa ruang belajar saja, namun juga dituntut membangun prasarana lain seperti ruang labolatorium, perpustakaan, tempat berolahraga dan sebagainya. Dan jika sekolah ini dirancang dalam bentuk sekolah berasrama atau boarding school, maka biaya yang dibutuhkan berkali lipat dibandingkan dengan pembangunan unit gedung baru pada sekolah konvensional. Sekolah berasrama mewajibkan pemerintah untuk menyediakan asrama bagi peserta didik. Makanan, minuman serta sarana pendukung lain di luar kegiatan proses pembelajaran di kelas. Belum lagi, pemerintah harus menyediakan asrama bagi guru atau tenaga kependidikan lainnya. Untuk membangun satu unit sekolah rakyat dibutuhkan lahan antara 5-10 hektar, sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Sosial Saifulah Yusuf alias Gus Iful. Memang cukup besar dana yang dibutuhkan.

Bagaimana dengan ketersediaan guru? Sekolah Rakyat membutuhkan 60 ribu guru. Konon sebagaimana diungkapkan Mensos Saifullah Yusuf, akan direkrut dari para guru penggerak. Kebijakan ini bisa jadi akan membuat komposisi dan distribusi guru akan makin carut marut. Sebab selama ini Guru Penggerak sebagian besar berstatus ASN maupun PPPK yang telah ditugaskan pada satu sekolah. Jika mereka dipaksa dimutasikan bukan saja berdampak pada karir yang bersangkutan, namun juga akan berdampak pada ketersediaan guru pada sekolah induk atau sekolah sebelumnya.  Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 jumlah guru di Indonesia sebanyak 3,03 juta. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 17, rasio ideal murid per guru adalah 20:1 untuk jenjang SD, SMP, dan SMA, serta 15:1 untuk jenjang SMK. Sedangkan komposisi antara jumlah guru dan sekolah, data BPS menunjukkan bahwa pada tahun ajaran 2023/2024, rasio murid-guru di tingkat Sekolah Dasar (SD) adalah 14,84; Sekolah Menengah Pertama (SMP) 13,93; Sekolah Menengah Atas (SMA) 14,95; dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 14,89. Dengan perhitungan ini maka setiap guru di Indonesia mengajar sekitar 14 hingga 15 murid, tergantung jenjang pendidikannya. Dengan demikian, rasio murid-guru saat ini secara nasional sudah berada dalam batas ideal. Namun, perlu dicatat bahwa distribusi guru belum merata; beberapa daerah, terutama di wilayah terpencil, masih mengalami kekurangan guru, sementara di kota-kota besar terdapat kelebihan guru. Jika nantinya akan ada mutasi sekitar 60 ribu guru, maka kesenjangan distribusi guru akan makin melebar. Masalah lain yang juga dikhawatirkan muncul adalah bagaimana dengan status kepegawaian mereka. Selama ini para guru penggerak berada dibawah kemendikdasmen atau Kemenag. Jika Sekolah Rakyat dikelola oleh Menteri Sosial, bagaimana dengan nasib Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang rutin mereka terima. Sebab mekanisme pencairan TPG berkaitan erat dengan sejumlah piranti digital yang selama ini dikelola oleh Kemendikdasmen maupun Kemenag. Belum lagi ketika berbicara masalah pengembangan kompetensi guru. Sangat mungkin akan memunculkan tumpang tindih pengelolaan dalam perspektif akademik dan kurikulum yang mendorong implementasi kurikulum yang berbeda.

Tidak bisa dipungkiri, Program Sekolah Rakyat juga akan memunculkan resistensi dari masyarakat. Pengalaman buruk masyarakat kita tentang sejumlah program pendidikan pada masa pemerintahan sebelumnya yang mandeg di tengah jalan tentu sulit dihilangkan dari benak mereka. Kondisi ini memunculkan ketidapkercayaan di tengah masyarakat. Masyarakat kita apatis bahkan masa bodo. Untuk mengurangi resistensi yang muncul di tengah masyarakat maka dibutuhkan sosialisasi yang konsisten dan berkesinambungan melalui pelibatan seluruh lapisan masyarakat. Informasi terkait dengan tujuan jangka panjang program Sekolah Rakyat hendaknya terus digaungkan. Prakarsa, ide ataupun gagasan yang disampaikan oleh masyarakat hendaknya dijadikan sebagai bagian penting dari upaya untuk menyukseskan program sekolah rakyat ini.

Waspadai Tumpang Tindih.

Penunjukan Kemensos sebagai pelaksana sekolah rakyat tidak bisa dipungkiri berpotensi memunculkan sejumlah problematika misalnya kebijakan kelembagaan, akademik, sosial, regulasi, serta anggaran. Sebagaimana diketahui Kemendikdasmen merupakan lembaga teknik yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan kurikulum, tenaga pendidik, serta penyelenggaraan sekolah formal. Sementara Kemensos adalah lembaga yang lebih banyak berurusan dengan masalah perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Maka jika diberikan kewenangan tambahan yang bersinggungan dengan tugas lembaga lain sangat berpotensi terjadinya overlapping peran yang berdampak tidak baik bagi kedua lembaga ini. Dampak yang ditimbulkan tersebut bukan saja berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum yang tidak sesuai dengan standar pendidikan nasional, namun juga berkaitan dengan kompetensi guru, materi ajar serta evaluasinya. Belum lagi kemungkinan terjadinya kompetisi anggaran diantara kedua lembaga ini. Jika kondisi ini tidak diantisipasi tentu upaya efesiensi dan efektivitas anggaran yang selama ini digaungkan pemerintah tidak akan berjalan. Permasalahan lain yang kiranya perlu dilakukan antisipasi oleh pemerintah dalah masalah kewenangan penyelenggaraan. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan tegas menyebutkan bahwa Pendidikan Formal diselenggaran oleh diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di bawah kementerian yang membidangi pendidikan.

Implementasi sekolah rakyat membutuhkan kordinasi, komunikasi sinergis lintas departemen khususnya antara Kemensos dan Kemendikdasmen. Sekolah rakyat juga diharapkan untuk menghindari terjadinya segmentasi sosial di tengah masyarakat kita. Sekolah rakyat meski fokus pada anak-anak marginal yang tidak tertampung di sekolah umum. Meski demikian tidak ada stigma sekolah rakyat adalah sekolah anak-anak miskin. Kurikulum yang digunakan juga kurikulum yang setara dengan sekolah umum. Oleh sebab itu maka kordinasi dan sinergi antara Kemensos dan Kemendikdasmen sebuah keniscayaan. Nah, jika kordinasi, komunikasi dan sinergi berjalan dengan efektif maka sekolah rakyat bukan saja akan mampu menjadi penguat sistem pendidikan inklusi, namun juga akan menjadi sarana yang strategis untuk memutus mata rantai kemiskinan structural di Indonesia. Semoga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun