Mohon tunggu...
Fras An
Fras An Mohon Tunggu... Rough Sea Makes A Good Captain

Lone wolf

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Like, Share dan Sunyi Yang Tak Terobati

24 Mei 2025   16:53 Diperbarui: 24 Mei 2025   16:58 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di suatu ruang yang sunyi, seorang gadis muda merekam dirinya menari. Musik mengalun pelan dari gawai, dan ia menatap kamera dengan senyum yang nyaris terlatih. Sepuluh detik berlalu, ia ulang kembali. Cahaya diredupkan, kemudian dinaikkan. Filter ditambahkan. Diunggah. Beberapa menit kemudian, ia menatap layar. Dua notifikasi like. Tiga notifikasi view. Hening. Seolah layar hanya memantulkan wajah, tapi tak pernah menyapa jiwanya. Ini bukan kisah satu orang. Ini cerita banyak jiwa hari ini---yang terus berbagi, tapi tak pernah merasa terhubung. Yang terus bersuara, tapi tak pernah benar-benar didengar. Yang terus menari, tersenyum, menulis kata-kata bijak---namun tetap merasa kosong. Sunyi yang tak terobati.

Di zaman ini, manusia tak lagi lapar roti. Ia lapar validasi. Lapar untuk diterima, diakui, dicintai. Namun seperti meneguk air laut, makin banyak ditelan, makin mengeringkan. Kapitalisme digital tak menawarkan makna. Ia hanya menjajakan sensasi---dalam bentuk konten, challenge, trending, monetisasi. Semua demi satu hal: atensi. Anak-anak kini tumbuh dengan algoritma sebagai guru. Mereka diajarkan bahwa nilai diri diukur dari followers, keberhasilan dihitung dari like, dan eksistensi harus dibuktikan setiap hari lewat unggahan baru. Kita membentuk generasi yang jenuh bahkan sebelum dewasa, penat bahkan sebelum bekerja, cemas bahkan sebelum memahami siapa dirinya.

Kapitalisme digital tak hanya menjual barang. Ia menjual waktu, perhatian, bahkan harga diri. Semua serba cepat, semua ingin viral. Tapi makin cepat, makin kehilangan kedalaman. Makin viral, makin jauh dari ketenangan. Lalu datang Islam, memanggil dengan suara yang tak memaksa, tapi menghunjam: "Ketahuilah, dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang." (QS. Ar-Ra'd: 28) Islam tidak melarang layar. Tapi ia bertanya: untuk apa engkau menatapnya?  Islam tidak melarang suara. Tapi ia bertanya: untuk apa engkau berbicara? Islam mengajarkan bahwa manusia adalah hamba Allah Al Khalik, bukan budak algoritma. Bahwa hidup bukan tentang like, tapi tentang ridha Allah. Bahwa cahaya sejati bukan datang dari layar, tapi dari wahyu yang menerangi jiwa.

Di dalam Islam, tak ada yang sia-sia. Bahkan sunyi pun bisa menjadi zikir. Bahkan sepi pun bisa menjadi jalan pulang. Islam tidak menjanjikan ketenaran, tapi ketenangan. Ia tidak menjanjikan viralitas, tapi keberkahan.Kita hidup di zaman di mana segalanya terlihat, tapi sedikit yang dimaknai. Di mana kata-kata bertumpuk, tapi kebenaran tenggelam. Maka mungkin sudah saatnya berhenti sejenak. Menyimpan gawai. Menunduk. Lalu bertanya:Untuk apa aku hidup? Untuk siapa aku menulis? Siapa yang benar-benar aku ikuti?Karena pada akhirnya, sunyi hanya bisa disembuhkan oleh satu hal: kembali kepada Dzat yang menciptakan suara, cahaya, dan hati kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun