Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Legal Opinion: Studi Kasus Pemerasan pada Proyek Rehab SD/SMP Pasca Bencana Gempa Kota Mataram, NTB

7 Januari 2021   09:36 Diperbarui: 7 Januari 2021   09:57 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
VONIS : Terdakwa kasus pemerasan pada proyek rehab SD/SMP pasca bencana Kota Mataram, H. Muhir, divonis dua tahun penjara oleh hakim Pengadilan Tipikor Mataram kemarin. (Dery Harjan/Radar Lombok)

1. KASUS POSISI

Kasus ini bermula ketika pada saat itu terjadi gempa bumi di Pulau Lombok secara beruntun pada tanggal 29 Juli 2018, tanggal 5 Agustus 2018, tanggal 9 Agustus 2018 dan tanggal 19 Agustus 2018. Diketahui bahwa akibat adanya bencana gempa bumi ini, begitu banyak fasilitas umum dan fasilitas sosial yang ada di kota Mataram menjadi rusak, dan kerusakan ini terutama dialami oleh tempat Sekolah Dasar dan Sekolah Menegah Pertama yang mengalami kerusakan dari berat, sedang, dan ringan.

Padaa tanggal 10 Agustus 2018, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Mataram kemudian mengajukan bantuan dengan mengirim data rekapitulasi penaksiran penilaian dengan total anggaran yang diajukan sebesar Rp21.058.671.000 kepada BAPPEDA Kota Mataram. Hingga kemudian diperbaharui kembali pada terakhir awal bulan September 2018 oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram dimana sekolah yang terkena dampak gempa hingga berjumlah 26 (dua puluh enam) sekolah yang terdiri dari 21 SDN dan 5 SMPN dengan nilai Rp. 3.462.500.000,00 ditambah anggaran untuk PAUD / TK Negeri, pembelian tenda, rehab gedung dinas dan trauma healing sehingga total anggaran Penanganan Pasca Gempa pada Dinas Pendidikan Kota Mataram adalah sebesar Rp. 4.292.500.000,00.

Setelah pengajuan tersebut, kemudian rancangan KUPA PPASP tahun 2018 diajukan kepada DPRD Kota Mataram sampai juga dengan disahkannya RAPBD-P Kota Mataram.

Hingga kemudian, awal dari bagaimana Muhir diindikasi melakukan tindak pidana korupsi bermula ketika hari Rabu 12 September 2018 ketika pada saat itu Penyidik pada Kejaksaan Negeri Mataram sedang memeriksa saksi Sudenom untuk mengkonfirmasi bahwa Muhir yang diperiksa sebagai tersangka dalam perkara lain dimana Muhir selaku Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram yang sering meminta sejumlah uang kepada para Kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Kota Mataram khususnya Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram untuk keuntungan pribadi antara lain dalam rangka tugas keluar kota, pengesahan APBD maupun APBD Perubahan dan adanya laporan lain yang berkaitan dengan perbuatan terdakwa meminta sejumlah uang kepada pegawai negeri atau ASN di lingkungan Pemerintah Kota Mataram dalam rangka promosi dan penempatan sejumlah jabatan di Pemerintah Kota Mataram. Dan pemeriksaan oleh Penyidik saksi Sudenom didampingi oleh Penasihat Hukumnya bernama Hijrat Priyatno, S.H. dan Muchtar Muhammad Saleh, S.H. 

Namun, tiba-tiba Hand Phone saksi Sudenom berdering dan ternyata ada panggilan dari Muhir untuk memberitahukan terkait bantuan dana gempa dan mengkonfirmasi dana yang diterima sebesar Rp. 4,2 milyar. Kemudian, Sudenom mengaktifkan loudspeaker handphonenya sehinga pembicaraan didalam handphone tersebut terdengar jelas termasuk oleh orang yang berada disekiranya

Di dalam pembicaraan tersebut, berdasarkan pada apa yang dijelaskan dalam keterangan saksi Sudenom, saksi Hijrat Priyatno dan saksi Muchtar Muhammad Saleh bahwa ketika menelpon saksi Sudenom Muhir mengatakan bahwa anggaran untuk perbaikan gedung SD dan SMP yang rusak sudah disetujui dengan dana Rp.4,2 milliar.

Saksi Sudenom ini adalah Kepala Dinas Pendidikan Kota Mtaram pada saat itu. Dan Sudenom inilah yang mengajukan anggaran tersebut. Ternyata, dalam pmbicaraan di antara mereka berdua, Muhir meminta uang sebesar Rp. 30.000.000,00 berdasarkan pada inisiatif saksi Sudenom sendiri dan sebelumnya tidak pernah diperjanjikan antara terdakwa dengan saksi Sudenom. 

Setelah dari permintaan uang tersebut, kemudian saksi Sudenom pada hari Kamis tanggal 13 September 2018, sekitar jam 15.00 wita, menelepon saksi Tjatur Totok Hardiyanto dan memberitahukan hal tersebut. Tujuan telepon tersebut untuk diadakannya pertemuan antara Totok, Sudenom, dan Muhir. Pertemuan diadakan di rumah makan Taliwang Nada di Jalan Ahmad Yani SayangSayang Kota Mataram. 

Namun ternyata, pada saat pertemuan tersebut, Muhir meminta uang tambahan lagi. Dimana berdasarkan keterangan saksi Sudenom, dan Tjatur Totok Hardiyanto pada saat akan pulang terdakwa meyampaikan kepada saksi Tjatur Totok Hardiyanto bahwa dirinya akan keluar bersama Walikota, kemudian terdakwa meminta uang kepada saksi Tjatur Totok Hardiyanto sejumlah Rp. 1.000.000,00 dan diserahkan pada saat di rumah makan Taliwang Nada tersebut. Sedangkan, untuk uang Rp. 30.000.000 diserahkan di hari dan tempat berbeda. Yakni di warung Encim Geniu di Jalan Rajawali I No. 18 Cakranegara Kota Mataram pada jam 10.00 WITA pada tanggal 14 September 2018.

Dan pada saat di hari itu juga, saksi TOTO HARDYANTO menyerahkan sebuah amplop warna coklat yang berisi uang pecahan Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) sebesar Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) kepada terdakwa dan setelah menerima amplop tersebut, terdakwa langsung menyimpannya didalam saku celananya dan perbuatan terdakwa dilihat oleh saksi GUFRAN dan saksi HESTI yang saat itu mengawasi gerak gerik terdakwa.

Hingga akhirnya, setelah mengetahui terdakwa telah menerima amplop yang diduga berisi uang, saksi GUFRAN kemudian menghubungi Tim Intelijen Kejaksaan Negeri Mataram yang berada di sekitar lokasi pertemuan, kemudian saksi DONI GAUTAMA anggota Tim Intelijen Kejaksaan Negeri Mataram, langsung masuk kedalam warung Encim dengan mengatakan diam ditempat sambil menunjuk kearah terdakwa.

Selanjutnya saksi DONI GAUTAMA keluar untuk memanggil anggota Tim lainnya untuk mengamankan tempat kejadian perkara (TKP), karena ketakutan terdakwa langsung melempar amplop warna coklat yang disimpan didalam saku celananya kearah saksi TJATUR TOTO HARDYANTO tanpa mengatakan apapun, kemudian amplop warna coklat tersebut langsung diambil dan disimpan oleh saksi TJATUR TOTO HARDYANTO didalam saku celana depan sebelah kanan.

Dan mereka bertiga yakni saksi Sudenom, saksi Tjatur, dan terdakwa dibawa ke Kejaksaan Negeri Mataram oleh Tim Intelijen. Hingga kemudian dilakukan penggeledahan terhadap terdakwa dimana didalam dompet terdakwa ditemukan uang sejumlah Rp. 1.115.200,00 (satu juta seratus lima belas ribu dua ratus rupiah), dan juga dilakukan penggeledahan terhadap saksi TJATUR TOTO HARDYANTO yang didalam saku celananya bagian depan sebelah kanan ditemukan 1 (satu) buah amplop warna coklat yang berisi uang pecahan Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) sejumlah Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan terhadap 1 (satu) Handphone milik terdakwa dan 2 (dua) Handphone milik saksi SUDENOM diamankan untuk pemeriksaan lebih lanjut

2. ISU HUKUM

Bahwa berdasarkan kasus posisi di atas, maka isu hukum yang dapat diambil adalah :

  • Telah terjadi penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh Muhir. Dimana terbukti dalam kasus posisi di atas bahwa Muhir selaku anggota DPRD Kota Mataram tidak menggunakan jabatannya sebagaimana mestinya. Terdakwa selaku Kepala Anggota DPRD Kota Mataram seharusnya bisa menjadi contoh yang baik selaku seorang wakil rakyat namun Terdakwa tidak turut menjaga kepercayaan Negara dan perbuatan Terdakwa yang secara langsung bertentangan dengan program Pemerintah menyelenggarakan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
  • Muhir telah melakukan tindak pidana korupsi dimana anggaran yang dikeluarkan seharusnya langsung diberikan kepada tujuan awal yakni untuk memperbaiki fasilitas yang rusak terutama untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, Namun justru, Muhir beberapa kali meminta uang diluar kesepakatan awal seperti meminta uang Rp. 30.000.000 dan uang Rp. 1.000.000 dengan alasan akan ada urusan bersama Walikota. Terlebih lagi, permintaan uang tersebut dilakukannya dengan juga disertai ancaman terhadap saksi Sudenom sebagai Kepala Dinas Pendidikan bahwa jika uangnya tidak diberikan, maka Muhir akan mengancam saksi akan difitnah dan yang terjadi saksi diisukan akan dimutasi bahkan di depan Walikota saksi dikatakan kalau saksi sudah bosan. 
  • Perbuatan Muhir yang melakukan tindak pidana korupsi ini bermula dari ketika Muhir atas dasar jabatannya kemudian meminta uang di luar perjanjian awal hanya untuk kepentingan pribadi dan mengatasnamakan jabatannya pada saat meminta uang tersebut sebagai bentuk keuntungan pribadi. Hingga kemudian hal ini berdampak kepada turunnya kepercayaan publik terhadap program untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai salah satu amanat Pembukaan Konstitusi.
  • OTT terkait dana bantuan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang terdampak bencana gempa bumi Lombok. Kasus pemerasan tersebut ditangani oleh Kejaksaan Negeri Mataram dengan menetapkan Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram, H. Muhir. Politikus yang menjabat sebagai pengurus Dewan Pembina Daerah (DPD) Partai Golkar diduga meminta uang dari pejabat Dinas Pendidikan Mataram dan kontraktor sebagai balas budi karena telah menjamin anggaran sebesar Rp4,2 miliar untuk perbaikan 14 gedung SD dan SMP

Berdasarkan dari ketiga isu hukum tersebut kemudian, Muhir diberi dugaan oleh Penuntut Umum ke dalam 3 pasal :

PERTAMA : perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 

KEDUA : perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf b Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

KETIGA : perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dengan demikian, ditinjau dari beberapa bukti dan rumusan fakta yang ada, akhirnya Majelis Hakim memutuskan untuk menjatuhkan putusan dengan didasarkan pada Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001, yang berbunyi sebagai berikut:

"Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya , atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya".

3. ANALISIS HUKUM

Atas beberapa isu hukum yang sudah disebutkan di atas. Maka inti dari kronologi perkara yang terjadi adalah terjadinya transaksi pemberian uang sebagai bentuk balas jasa oleh Sudenom terhadap Muhir atas keberhasilannya dalam membuat proposal pengajuan anggaran Rp. 4,2 Milyar disetujui. Hingga akhirnya kemudian, Muhir meminta uang di luar anggaran yang harusnya diberikan hanya sebesar Rp. 4,2 milyar saja kemudian bertambah menjadi Rp. 30.000.000 dan Rp. 1.000.000 yang diminta atas inisiatif dari Muhir sendiri. 

Hal demikian inilah yang naninya akan mencederai kepercayaan publik terhadap badan representatifnya. Dikarenakan, badan representatif yang harusnya merepresentasi keinginan masyarakat kemudian hancur dikarenakan adanya penyalahgunaan jabatan tersebu oleh Muhir. "Sejalan dengan teori yang dikatakan oleh dalam Kajian Korupsi dalam Perspektif Sosiologi dalam Rumusan yang Berkaitan dengan Kepentingan Umum yakni Carl J. Friedrich yang mengatakan bahwa, mempertahankan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang pemegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu, seperti pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainya yang tidak diperbolehkan oleh undang- undang (secara tidak sah), membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum (Linggar Yudha Pratama, 2015:6).

Sebagaimana dinyatakan bahwa kajian Sosiologi Hukum berusaha untuk mengkaji kasus ini bukan hanya secara normatif. Hal ini dikarenakan studi hukum normatif kajiannya bersifat perspektif, hanya berkisar pada apa hukumnya dan "bagaimana penerapannya . "Hingga kemudian Satjipto Raharjo memperluas kembali kajian penelitian suatu kasus dengan mengutip pendapat Max Weber yang menamakan cara pendekatan yang demikian itu sebagai suatu interpretative understanding, yaitu cara menjelaskan sebab, perkembangan, serta efek dari tingkah laku sosial (Satjipto Raharjo, 2000: 310-311).

Dengan demikian, mempelajari sosiologi hukum adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam kaitannya dengan korupsi sehingga mampumengungkapkannya. Tingkah laku dimaksud mempunyai dua segi, yaitu luar dan dalam. Oleh karena itu sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan ingin juga memperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. 

Berkaitan dengan teori tersebut kemudian hal yang bisa disimpulkan dari beberapa isu hukum yang ada salah satunya juga dengan terkait pertimbangan hukum yang ada hingga kemudian Majelis Hakim memutuskan berdasarkan keterangan saksi salah satunya saksi Sudenom yang berkenaan langsung dalam realita lapangan yang ada. 

Dimana pernyataan Sudenom mengatakan bahwa motif pemberian berupa uang sejumlah Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan sejumlah Rp30.0000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tersebut diberikan oleh saksi Tjatur Totok Hardiyanto atas perintah saksi Sudenom adalah karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram bukan sebagai terdakwa pribadi. 

"Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Barley dalam Buku Kajian Korupsi dalam Perspektif Sosiologi yang mengatakan bahwa perkataan "korupsi" dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi".

Sejalan dengan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa Menurut Abdullah Hehamahua berdasarkan motivasi pelaku, korupsi dapat dibedakan menjadi 5 yakni, korupsi karena kebutuhan, korupsi karena ada peluang, korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri, korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah, dan korupsi karena ingin menguasai suatu Negara. 

Maka begitu halnya dengan yang digarisbawahi dalam perbuatan Muhir kali ini yakni memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengambil keuntungan pribadi dengan alih-alih sebagai bentuk keuntungan pribadinya sendiri. Maka, perbuatan Muhir bisa jelas dikategorikan sebagai korupsi karena ada peluang dan korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri. 

Dalam buku yang lain, Sosiologi Korupsi; Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, SH Alatas menulis: 

Hal menarik yang diperbuat di sini adalah perbedaan antara kesewenang-wenangan dan praktek yang layak dari pranata tradisional pemberian hadiah. Bila pembedaan ini sudah diperbuat, tidak sulit membayangkan bagaimana korupsi menjalar. Akan tetapi, kita harus mengkaji makna kebiasaan pemberian sebagai suatu sumber kesewenangwenangan dalam jaringan kausal korupsi, mengingat fakta bahwa praktek-praktek lain yang disetujui oleh masyarakat telah dijangkiti oleh korupsi (Syed Husein Alatas, 1980: 39).

Lebih jauh, Alatas membagi 7 tipologi korupsi, yaitu: korupsi transaktif, korupsi yang memeras, korupsi invensif, korupsi perkerabatan, korupsi defensif, korupsi otogenik, dan korupsi dukungan. Terkait dengan praktik pemberian hadiah dalam relasi kuasa seperti dijelaskan di atas, tipologi korupsi invensif merupakan bentuk yang menunjukkan adanya hubungan antara pemberian dengan kekuasaan yang dimiliki penerima. Dijelaskan, korupsi invensif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang akan diperoleh di masa akan datang.

Korelasi dengan teori sebelumnya bahwa dalam setiap perbuatan tindak pidana, pasti mempunyai motif tersendiri baik tindak pidana tersebut akhirnya sempat terlaksana atau tidak. Dalam kronologi perkara Muhir dinyatakan bahwa Muhir menolak pemberian uang 30 juta tersebut. Namun, yang masih harus kita kaji lebih dalam adalah persoalan motif dan niat dari Muhir itu sendiri. Dimana dari kronologi perkara dinyatakan, bahwa uang 30 juta itu juga hadir atas dasar permintaan Muhir hingga kemudian Sudenom mau untuk menuruti kehendak dari Muhir. Ditambah lagi, dengan uang 1 juta yang secara jelas dan nyata juga diminta atas inisiatif Sudenom sendiri dan bahkan diterima langsung oleh Sudenom. Logika hukumnya, Muhir bukan tidak jadi melaksanakan tindak pidana karena uang penolakannya terhadap uang 30 juta, namun karena tindak pidana yang dia lakukan sudah lebih dahulu diketahui oleh Tim Intelijen Kejaksaan Negeri Kota Mataram. 

Dikarenakan pada saat baru saja Muhir kemudian akhirnya menerima uang 30 juta tersebut, Tim Intelijen kemudian langsung menangkapnya secara OTT. Diperkuat lagi dengan sudah adanya Iktikad dari Muhir untuk meminta uang tersebut. Artinya, secara mens rea pun Muhir sudah melakukan tindak pidana penerimaan hadiah tersebut. Terbukti dari kronologi perkara ketika saksi Sudenom memberitahu saksi Tjatur Totok Hardiyanto terkait adanya telepon yang isinya permintaan sejumlah uang dari Muhir dan menyuruh saksi Tjatur Totok Hardiyanto untuk menyiapkan uang sejumlah Rp. 30.000.000. Dan bahwa dana sejumlah Rp.30.000.000 adalah inisiatif saksi Sudenom sendiri dan sebelumnya tidak pernah diperjanjikan antara terdakwa dengan saksi Sudenom. 

Kant dan Hegel dalam Teori Pembalasan menyatakan bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat di dalam apa yang disebut kategorischen imperative menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembahasan yang sematamata didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan. Dengan demikian jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika, dimana seseorang yang melakukan kejahatan akan dihukum dan hukuman itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah etika dari yang jahat menjadi baik.

"Hukum dalam wujudnya menurut istilah Donald Black sebagai government social control. Dalam kaitan ini sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini hukum dipandang sebagai dasar rujukan yang digunakan oleh pemerintah di saat pemerintah melakukan pengendalian terhadap perilaku-perilaku warga masyarakatnya, yang bertujuan agar keteraturan dapat terwujud"          Black, The Behavior of Law, (New York: Academic Press, 1976:2).

Begitu pula dengan pemidanaan yang diberikan kepada Muhir. Hal ini tidak lain sebagai bentuk pemerintah dalam hal memberikan keteraturan hidup dalam masyarakat. Terlebih, untuk mengembalikan lagi hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap badan representatif. Sejalan dengan itu, hakim pun memberikan hukuman kepada Muhir berdasarkan pada Pasal UU. No 20 Tahun 2001 pada saat itu. Dimana, unsur-unsur yang terkandung di dalamnya kenapa kemudian pasal ini digunakan dikarenakan:

4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Tidak bisa kita pungkiri bahwa dengan berkembangnya adagium tidak boleh menolak rejeki semakin memperkuat kebiasaan buruk atau prilaku korup hingga nyaris menjadi perilaku keseharian, termasuk dalam pelayanan publik di masyarakat. Sehingga dikenal berbagai istilah seperti uang terimakasih, uang lelah, biaya kopi atau istilah lain yang mirip. 

Pembenaran menggunakan alasan kebiasaan, adat istiadat, dan bahkan perayaan agama juga tidak jarang mengemuk. Akibatnya, tak dapat dipungkiri bahwa penerimaan hadiah atau gratifikasi bukan hal baru di Indonesia. Beberapa orang menganggapnya sebagai kultur imperatif yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Banyak yang menganggap pemberian hadiah tersebut adalah sebuah kebiasaan dan kepatutan, terutama jika si penerima telah melakukan sesuatu yang dianggap membantu kepentingan pemberi.

Kasus Muhir ini merupakan kasus yang bermula dari pengajuan anggaran terkait dana bantuan terhadap fasilitas yang rusak terutama di SD dan SMP dikarenakan adanya bencana gempa yang terjadi di Lombok. Diperkuat lagi dengan posisi Muhir ini sebagai Ketua Komisi IV DPRD bidang kesejahteraan rakyat yang tentunya berkaitan erat dengan kebijakan tersebut. Hingga kemudian berujung kepada Muhir yang kemudian akhirnya menyetujui pengajuan anggaran oleh Sudenom sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram pada saat itu. Dimana, anggaran yang disetujui sebanyak Rp, 4,2 milyar. Tentunya, nominal tersebut tidak jauh berbeda dengan anggaran yang diajukan oleh Sudenom.

Hingga kemudian, dikarenakan Muhir berhasil menyetujui anggaran tersebut, Muhir kemudian meminta uang sebagai bentuk hadiah terhadap jasa yang dilakukannya. Hal ini ia lakukan kepada Sudenom selaku Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram yang mengajukan anggaran. Dikarenakan Sudenom takut jika tidak menuruti kemauan Muhir akan berdampak pada keberlangsungan cairnya anggaran, maka Sudenom pun akhirnya menuruti kemauan Muhir. Dimana, berdasarkan kronologi perkara bawha Muhir telah meminta sejumlah uang sebesar Rp. 30 juta dan Rp. 1 juta. Dan pemberian uang tersebut dilaksanakan di tempat dan waktu yang berbeda. Atas dasar hal tersebutlah, Sudenom dijatuhi pasal Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 terkait penerimaan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan yang dimilikinya. 

B. REKOMENDASI

(1). Kewajiban pelaporan jika memang menolak gratifikasi dan jaminan perlindungan bagi siapapun yang melaporkan adanya gratifikasi dan tambahan sanksi jika tidak dilaporkan adanya gratifikasi

Beberapa hal yang dikaji oleh penulis dalam kronologi perkara terkait bantahan yang dilakukan oleh Muhir adalah bahwa Muhir sempat menolak pemberian Sudenom yang nominalnya Rp. 30 juta tersebut. Dan juga dinyatakan bahwa Sudenom memberikan uang terebut untuk memperlancar kebijakan pencairan anggaran. Hal ini dilakukan oleh Sudenom sebagai bentuk pemberian hadiah. Dan pada nyatanya, regulasi sejatinya sudah menerapkan dalam Pasal 12 C ayat (1) UU Tipikor terkait batasan selama maksimal 30 hari untuk melaporkan jika memang ada indikasi adanya gratifikasi tersebut. 

Nyatanya, Muhir pun tidak melakukannya. Dan justru, Muhir malah sempat menerima uang Rp. 1 juta. Artinya, masih ada kemudian potensi dari Muhir menerima pemberian hadiah yang diberikan oleh Sudenom tanpa menolaknya. Logikanya, ketika memang dia sudah mengetahui indikasi tersebut sejak awal dan memang sudah ada niatan untuk menolaknya, artinya harusnya Muhir sudah melaporkannya. Namun, nyatanya hal tersebut tidak dilakukan. Artinya, penolakan yang dilakukan oleh Muhir bisa saja sebagai bentuk alasan yang memang tidak berdasarkan bukti yang kuat. Kesimpulannya, bukan menolak, tetapi belum siap menerima. Belum siap menerima ini tandanya Muhir masih ada potensi menerima di hari yang lain. 

Satjipto Rahardjo (Satjipto Rahardjo, 2000:15) mengemukakan bahwa di Idonesia kita mengalami bahwa dengan teori-teori yang formal positivistis akan sulit untuk dapat memberikan penjelasan yang memuaskan terhadap kemelut yang terjadi dinegara kita. Teori-teori postivistis hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal seperti diantisipasi oleh hukum positif, oleh karena sangat terbatas untuk tidak menyatakan gagal, apabila dihadapkan kepada suasana kemelut dan kegoncangan seperti terjadi di negara kita. 

Berkaitan dengan adaya hal tersebut, maka hukum perlu dikaji secara sosiologis agar tidak hanya terikat pada normatif saja dan bisa sesuai dengan keadaan realita di masyarakat seperti apa.

Kejadian gratifikasi pada umumnya tidak disertai dengan pengungkapan secara lugas mengenai maksud dari gratifikasi tersebut dan pihak penerima juga tidak mengetahui bahwa pemberian tersebut adalah gratifikasi. Inilah kemudian yang membedakan antara gratifikasi dengan suap, dimana pada delik suap menyuap terjadi transaksi secara terang-terangan antara pemberi dan penerima (transaksional). Sementara pemberian gratifikasi seringkali tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat secara langsung (nontransaksional), namun memiliki kecenderungan sebagai tanam budi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

Menurut Pasal 15 UU KPK, KPK pada dasarnya sudah memberikan perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor yang telah menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban. Dalam konteks ini, pelapor gratifikasi dapat akan dibutuhkan keterangannya sebagai saksi tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi. 

Misalnya, ketua dan anggota tim di sebuah instansi diduga menerima gratifikasi terkait pelaksanaan tugasnya, akan tetapi, hanya satu orang pelapor yang menyampaikan laporan gratifikasi. Dengan laporan tersebut, secara tidak langsung dapat membuka informasi terkait dugaan penerimaan gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri/penyelenggara negara lainnya, dan dugaan tindak pidana korupsi lainnya. Kondisi inilah yang selanjutnya dapat memosisikan pelapor sekaligus sebagai whistleblower yang berpotensi mendapatkan ancaman dari pihak lainnya. Pelapor gratifikasi yang menghadapi potensi ancaman, baik yang bersifat fisik ataupun psikis, termasuk ancaman terhadap karir pelapor dapat mengajukan permintaan perlindungan kepada KPK atau LPSK. Instansi/Lembaga Pemerintah disarankan untuk menyediakan mekanisme perlindungan khususnya ancaman terhadap karir atau aspek administrasi kepegawaian lainnya. Bentuk perlindungan tersebut dapat diatur dalam peraturan internal.

Misalnya, Pertama. dengan memberikan penjelasan lebih mendetail dalam UU Tipikor terkait identifikasi gratifikasi atau suap sebagai upaya preventif dan kewajiban pemeriksaan harta kekayaan negara bagi pelapor yang walaupun melaporkan gratifikasi kurang dari 30 hari agar tidak ada dalih pembenaran kembali kedepannya. Terdapat celah yang ada dalam regulasi UU Tipikor yang berpotensi untuk pelapor emndapatkan impunitasnya. Berdasarkan Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor ini pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk membenarkan tindakan mereka untuk tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya. 

Pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut dapat berdalih bahwa gratifikasi tersebut belum melewati masa pelaporan (30 hari) sejak menerima gratifikasi. Penetapan status terhadap gratifikasi yang dilaporkan ke KPK juga merupakan tugas hakim dalam persidangan untuk menentukan apakah suatu gratifikasi itu bisa dikatakan suap atau bukan (Reda Manthovani, 2013:6).

Status barang gratifikasi yang telah ditetapkan oleh KPK dapat dirampas untuk negara jika berhubungan dengan jabatan, atau dikembalikan kepada penerimanya (Adnan Pasliadja, Pusdiklat Kejaksaan, dalam FGD Penerapan Pasal gratifikasi yang dianggap suap, Jakarta, 18 September 2013).

Permasalahannya kemudian, jika memang pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya, tidak ada pengaturan yang mewajibkan melakukan pemeriksaan awal untuk penerimanya. Minimal, frasa yang menyatakan bahwa pelaporan gratifikasi tidak serta merta membebaskan penerima dari jerat hukum.

Keberadaan Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor memang mengundang perdebatan yang panjang, terutama karena pelaporan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara kepada KPK dapat memberikan impunitas kepada pelapornya, sehingga penerimaan gratifikasi olehnya dapat dibenarkan. Aparat penegak hukum harus dapat membuktikan bahwa penerimaan tersebut telah melewati jangka waktu pelaporan seperti yang diatur dalam Pasal 12 C ayat (4) Undang-Undang Tipikor, yaitu 30 hari sejak gratifikasi diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri. Maka rekomendasi yang diberikan yakni, impunitas terhadap para pelapor gratifikasi tidak perlu terjadi secara mutlak. Sehingga apabila di kemudian hari ditemukan bahwa pemberian tersebut bersifat ilegal, pelapor gratifikasi tetap bisa dijerat dengan Pasal gratifikasi yang dianggap suap dengan pembalikan beban pembuktian.

Contoh kasus yang pernah terjadi adalah apenangkapan Tommy Hindratno, Pegawai Dirjen Pajak Sidoarjo yang ditangkap saat OTT oleh KPK. Dalam OTT tersebut, Tommy Hindratno tertangkap tangan ketika menerima suap dari James Gunarjo, sebesar Rp.280.000.000,- (dua ratus delapan puluh juta rupiah). Dalam OTT tersebut Tommy berdalih baru akan melaporkan penerimaan suap tersebut kepada KPK, karena belum lewat 30 hari dari waktu penerimaannya. Celah inilah yang tercipta dari penerapan Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor, dan bisa saja terdakwa lepas dari tuduhanhanya karena Jaksa sebagai Penuntut Umum tidak dapat membuktikan apakah penerimaan pemberian tersebut tidak dilaporkan setelah lewat 30 hari.

(2). Kerja sama dengan korporasi bersama KPK dalam membuat kode etik untuk setiap anggota di dalamnya dan peran serta masyarakat dalam perannya meminimalisir adanya gratifikasi/suap

Dalam rangka membangun lingkungan korporasi yang bersih dan selalu menjunjung tinggi etika beserta nilai-nilainya, adanya standar etik berupa kode etik (code of ethic) dan/atau kode perilaku (code of conduct) adalah prasyarat mutlak (conditio sine qua non). Praktik pemberian ataupun permintaan gratifikasi, suap, atau uang pelicin dapat dimasukkan dalam kode etik dan/atau kode perilaku dengan menguraikannya secara jelas sehingga mudah dipahami dan diterapkan dalam praktik sehari-hari. 

Selain kode etik dan/atau kode perilaku di internal korporasi, adanya kode etik dan/atau kode perilaku yang bersifat sektoral menjadi hal yang sangat penting untuk menjadi pedoman bagi berbagai korporasi yang mempunyai sifat yang mirip atau sejenis sehingga antara korporasi tersebut akan saling menguatkan dalam menjalankan praktik bisnis atau non-bisnis yang sehat dan beretika. Untuk korporasi yang berusaha untuk mendapatkan profit dan tergabung dalam asosiasi, saat ini sudah cukup lazim adanya kode etik yang bersifat sektoral, beberapa diantaranya adalah: Kode Etik Asosiasi Konsultan Non Konstruksi Indonesia, Kode Etik Asosiasi Perusahaan Pemboran Migas, Kode Etik Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Profesi, Kode Etik Asosiasi Tenaga Teknik Indonesia, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial. 

Dalam artian disini, peran serta masyarakat dalam hal mengoptimalkan kesepakatan (konsensus) dengan peemrintah dalam memaksimalkan regulasi yang ada bisa terlaksana dengan baik, sangat memberikan signifikansi yang besar. Terlebih, manfaat yang dirasakan pun juga akan didarasakan oleh masyarakat sendiri jika optimalisasi penegakan hukum dalam gratifikasi juga dicegah sedari dini oleh masyarakat. 

Berdasarkan penelitian LPEM UI Tahun 2003, pengeluaran perusahaan untuk biaya tambahan atau pungutan liar telah mencapai 11 persen dari biaya produksi (Sumber RPJMN). Hasil penelitian Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia pada Tahun 2013 menunjukkan besarnya biaya siluman mencapai 20%-30% dari total ongkos produksi. Dari data tersebut terlihat adanya peningkatan biaya operasional tidak resmi atau biaya siluman yang trennya terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Untuk tingkat Asia Tenggara (ASEAN), hasil penelitian LP3E menunjukkan bahwa biaya transaksi perizinan untuk memulai usaha di Indonesia lebih tinggi dibanding negara tetangga. Biaya transaksi perizinan untuk memulai usaha di Indonesia mencapai 17,9 persen dari pendapatan per kapita. Angka ini lebih tinggi dari Malaysia, 16,4 persen, dan Thailand yang hanya 6,2 persen. 

Diterapkannya sistem pengendalian gratifikasi, suap, dan uang pelicin secara masif dan berkelanjutan diyakini dapat menekan dan menurunkan biaya operasional tidak resmi (biaya siluman) tersebut secara perlahan dan konsisten. Pengusaha bahkan dapat menikmati manfaat tambahan karena dapat mengalokasikan dana-dana tidak resmi tersebut untuk meningkatkan gaji tenaga kerjanya secara layak dan manusiawi sehingga hubungan industrial antara pengusaha dan tenaga kerja dapat menuju arah yang semakin produktif dan saling memuliakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun