Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sedang Perihal Kematian pun Kita Harus Belajar

24 September 2020   09:11 Diperbarui: 24 September 2020   09:18 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wishwatar.org

Karena hanya dengan menganggap bahwa setiap hari yang kita jalani sebagai hari terakhir lah, kita akan memberikan penutup yang indah dalam hidup dan menjadikan hidup sebagai perjalanan yang utuh.
Seperti apa rentang kehidupan yang paling utuh, kita mungkin bertanya? Menurut Seneca, rentang kehidupan yang paling utuh adalah hidup hingga mencapai kearifan. 

Barang siapa berhasil mencapai tujuan tersebut, ia tidak mengakhiri hidupnya pada titik terjauh, tetapi ia mengakhiri hidupnya pada titik tertinggi. Karena demikian juga yang disampaikan oleh Aristoteles bahwa hanya dengan mencapai kearifan dan kebijaksanaan lah, manusia dapat dikatakan mampu untuk memahami esensi dari dirinya.

Sampainya manusia pada titik memahami esensi diri, juga menjadi bagian dari rangkaian tentang mengapa dan untuk apa manusia lahir di dunia ini. Oleh karena itu, mempelajari kematian bukan hanya sekedar ungkapan tentang bagaimana cara manusia mati.

Namun jauh daripada itu, ungkapan ini sejatinya menggugah setiap pendengarnya untuk memahami esensi dari kehidupan dan memahami bahwa kehidupan juga merupakan perjalanan menuju kematian, dan kematian juga bisa berarti awal untuk menuju kehidupan yang baru sebagaimana diungkapkan oleh Plato dimana setelah kematian "akan tiba saatnya kita kembali melihat cahaya".

Doktrin-doktrin tersebut juga selaras dengan doktrin yang diajarkan oleh agama-agama yang berkembang saat ini, yang meyakini bahwa setelah kematian akan ada hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan kembali, dan setiap agama memiliki istilah-istilah yang berbeda untuk menyebut kehidupan setelah kematian. Pandangan-pandangan utama mengenai kehidupan setelah kematian ini berasal dari agama, esoterisme, dan juga metafisika.

Selain itu, bagi sebagian besar filsuf Stoa, bahwa dengan senantiasa mempelajari kematian, manusia akan lebih belajar untuk ikhlas dan tulus dalam menerima dan menjalankan kehidupan serta setiap takdir yang menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri, termasuk datangnya kematian. Dan kita harus mulai untuk belajar dan menanamkan dalam diri kita bahwa "aku menikmati hidupku sejauh ini karena aku tidak banyak menghabiskan waktu untuk menghitung berapa lama lagi sisa hidupku". 

Artinya apa? Bahwa sesungguhnya, panjang usia berada di luar kendali kita. Bukan menjadi kuasa kita untuk mengatur berapa lama kita akan ada, namun yang seharusnya kita pikirkan adalah berapa lama kita sungguh-sungguh ada.

Merupakan dua hal yang berbeda antara "berapa lama kita akan ada" dengan "berapa lama kita sungguh-sungguh ada". Ungkapan "berapa lama kita akan ada" hanya menunjukkan kuantitas, namun "berapa lama kita sungguh-sungguh ada" menunjukkan kualitas, yakni bagaimana esensi hidup yang seharusnya manusia jalani.

Kembali kepada ungkapan diatas, tentang bagaimana seharusnya kita menikmati hidup tanpa harus menghabiskan waktu untuk menghitung berapa lama lagi sisa hidup kita, menunjukkan bahwa bagaimana manusia tidak seharusnya "terobsesi dengan hidup". Karena menurut Seneca satu-satunya belenggu dalam hidup adalah mencintai kehidupan itu sendiri. Dalam artian bahwa ungkapan tersebut lebih ditujukan kepada pemaknaan tentang obsesi akan hidup yang mengarah pada suatu hal yang bersifat negatif. 

Sebagai contoh, bahwa bahkan banyak orang yang bersedia menukar kematian dengan hal-hal yang lebih buruk, misalnya menghianati seorang kawan atau bahkan saudara sendiri "demi hidup yang lebih lama" atau dengan kata lain "demi kepentingan hidup mereka".

Namun terdapat suatu pengecualian, bahwa disamping itu manusia juga memiliki tanggungan terhadap orang lain yang membuatnya harus tetap hidup "bukan karena obsesi akan hidup". Hal tersebut dapat dilihat misalnya melalui ungkapan Seneca dalam tulisannya yang menggambarkan bagaimana kehidupan pernikahannya dengan Pompeia Paulina, yang isinya: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun