Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan yang diharapkan dapat langsung bekerja setelah lulus. Namun kenyataannya tidak sesuai dengan ekspetasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2018 jumlah pengangguran tertinggi berasal dari lulusan SMK yaitu berkisar 8.92% , disusul oleh lulusan SMA dengan presentase 7.19%. Pada bulan Agustus 2018, jumlah pengangguran lulusan SMK mengalami peningkatan menjadi 11.25%. Hal ini sungguh miris, pasalnya lulusan SMK diharapkan dapat langsung bekerja karena sekolah ini memang berbasis kejuruan. Lalu dimanakah letak kesalahannya?
Jika dilihat dari segi penerima kerja, saya menarik kesimpulan bahwa SMK belum dapat diterima oleh banyak lembaga maupun perusahaan untuk bekerja. Sebagai seorang alumni salah satu SMK, saya pernah mengalami sulitnya mencari tempat melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL). Rata-rata perusahaan menerima karyawan magang yang sudah berjenjang perguruan tinggi, akibatnya saya dan rekan-rekan saya kesulitan menemukan tempat untuk PKL pada saat itu. Selanjutnya, jika dilihat dari segi kurikulum. Menurut seorang pakar pendidikan Doni Koesoema, kurikulum SMK masih 80% teori dan 20% teori. Akibatnya pendidikan SMK masih terlihat kaku.
Melihat dari berbagai permasalahan tersebut, sudah seharusnya permasalahan SMK ini dibenahi bersama-sama dengan memperhatikan faktor dari berbagai segi pandangan sehingga lulusan SMK tidak dipandang sebelah mata dan dapat mengaktualisasikan kompetensinya dalam dunia kerja