Mohon tunggu...
amuk nalar
amuk nalar Mohon Tunggu... Wiraswasta - advokat

berkarya untuk masa depan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Usir Komunis dan Kapitalis, Saatnya Kembali ke Rumah Pancasila

23 Mei 2016   07:55 Diperbarui: 23 Mei 2016   08:03 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Rohmad Amrulloh

Upaya untuk mengusut pelanggaran HAM pada peristiwa tahun 1965 telah dilakukan, diawali dengan penyelenggaraan symposium oleh Lemhanas. Acara tersebut diselenggarakan 19 April 2016, dengan tema “Membedah Tragedi 1965 – Pendekatan Kesejarahan”. Symposium ini merekomendasikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM tahun 1965, dengan pendekatan sejarah dan mengesampingkan proses yudisial. Gerakan penyelesaian kasus HAM 1965 ini mendapat antusias besar dari para korban dan keluarga korban 1965 dan para aktifis HAM.

Sebagaimana penuturan beberapa sumber, bahwa eksekusi terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi under bow-nya dilakukan tanpa melalui pengadilan. Begitu juga penahanan atau pengasingan para Tahanan Politik yang dianggap terlibat dalam organisasi tersebut, dilakukan dengan ‘serampangan’ dan represif, tanpa melalui putusan pengadilan yang sah. Oleh karenanya, dengan adanya rekonsiliasi tersebut diharapkan dapat membuka tabir kebenaran tentang peristiwa tahun 1965. Lebih tegasnya, memperjelas siapa yang benar dan siapa yang salah.

Pasca symposium, terdapat beberapa fenomena yang dapat kita tangkap. Pertama, symbol “palu arit” dan stiker “Papakilo” bertebaran di beberapa daerah, bahkan dipakai terang-terangan pada unjuk rasa buruh. Kedua, muncul reaksi keras berbagai kalangan dan menuntut aparat bertindak tegas terhadap pelaku penyebaran symbol “palu arit”. Ketiga, beberapa organisasi kemasyarakatan di berbagai kota memasang spanduk dan baliho yang berisi penolakan keras bangkitnya komunisme. Keempat, Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menko Polhukam melalui media massa menghimbau; kaos bergambar “palu arit” hanyalah euphoria anak muda, oleh karenanya meminta kepada masyarakat untuk tidak berlebihan. Keempat, Ketidaksepahaman Luhut Binsar Pandjaitan selaku Meno Polhukam dan Ryamizard Riyacudu terkait rencana identifikasi kuburan massal tragedy 1965. Kelima, di beberapa tempat aparat melakukan sweeping terhadap buku-buku “kiri” dan penangkapan orang yang menggunakan atribut ‘palu arit’.

LSM Kontras merelease bahwa isu bangkitnya PKI, hanyalah rekayasa. Tujuan isu tersebut adalah menghidupkan rasa takut di masyarakat terhadap eksistensi dan kebangkitan PKI dan komunisme, serta menggerakkan sentiment dan emosional masyarakat terhadap PKI dan Komunisme. Isu tersebut, menurut kontras, dikhawatirkan akan menjadi pembenar bagi pengambil kebijakan keamanan untuk melakukan restriktif dan represif terhadap gerakan ‘perlawanan’ dengan melakukan tuduhan PKI. Operasi demikian, masih menurut Kontras, adalah yang dipakai rezim Orde Baru. Dalam konteks rekonsiliasi sejarah 1965 ini, Kontras meminta pemerintah untuk mengungkap pelanggaran HAM terhadap korban tragedi 1965.

Dugaan Kontras yang menyatakan bahwa penggelontoran isu bangkitanya PKI adalah operasi untuk menutupi kejahatan Orde Baru, menurut saya adalah dugaan yang gegabah. Dugaan tersebut tanpa didukung oleh alat bukti yang benar dan relevan. Dugaan tersebut tidak dapat menunjukkan bahwa isu PKI dan Komunisme dengan ditandai penyebaran symbol ‘palu arit’ di beberapa daerah, hanyalah konspirasi dan operasi. Bagi masyarakat luas, penyebaran symbol ‘palu arit’ adalah nyata dan bukan sekedar halusinasi. Fakta inilah yang harus ditindak tegas oleh aparat. Jika tidak, dikhawatirkan masyarakat sendirilah yang akan bertindak.

Simbol ‘palu arit’, sekalipun memiliki dasar filosofi yang anggun, yakni palu sebagai symbol pekerja/buruh, dan ‘arit’ sebagai simbul petani, tapi symbol tersebut memiliki catatan khusus di negeri ini. Mayoritas masyarakat, ketika disodorkan symbol tersebut, secara spontan akan menunjuk bahwa organsasi ini adalah terlarang, organsiasi atheis yang tidak mengenal Tuhan, dan organisasi yang pernah membantai dan membunuh orang Islam, khususnya santri dan kyai, organisasi yang pernah membunuh 7 Jendral. Harus diakui, masyarakat masih memiliki sentiment akut terhadap organisasi ini, bahkan sentiment yang tidak bisa ditawar. Lantas bagiamana logikanya kaos bergambar symbol ‘palu arit’ euphoria anak muda? Patut diduga, ada misi serius yang sedang dilancarkan.

Symposium yang digelar oleh Lemhanas memberikan rekomendasi bahwa rekonsiliasi 1965 akan dilakukan dengan jalur non yuridis, yakni pendekatan sejarah. Luhut Pandjaitan menegaskan bahwa penggalian kuburan massal  hanyalah untuk memastikan berapa jumlah korban tragedy 1965. Apakah sesederhana itu? Seandainya kuburan massal benar-benar digali dan dihitung jumlah jasadnya, apakah proses akan berhenti disitu? Tentu tidak, karena agenda rekonsiliasi adalah penuntasan kasus HAM, maka penyelidikan peristiwa yang menyebabkan terjadinya pembunuhan massal akan dikupas melalui kesaksian korban dan pelaku yang masih hidup. Sekali lagi, untuk menegaskan siapa yang benar dan siapa yang patut dipersalahkan.

Jika yang dilakukan adalah pendekatan sejarah, maka nilai subjektifnya akan lebih besar. Karena masing-masing pihak akan mempertahankan, bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Dapat diperkirakan, bahwa pendekatan sejarah tidak akan melahirkan solusi, justru berpotensi melahirkan problem baru. Namun, bagaimanapun juga, ide untuk menyelesaikan rekonsiliasi melalui jalur sejarah adalah rekomendasi symposium yang diselenggarakan oleh Lembaga Negara, yang tentu diisi oleh para pakar. Tentu pikiranya tidak pendek, sekali lagi, ada misi tertentu yang lebih ‘khusyuk’.

Bila dikemudian hari, Lemhannas menarik kesimpulan bahwa memang benar pada tahun 1965 telah terjadi pelanggaran HAM besar-besaran, maka akan terjadi pergeseran catatan sejarah. Catatan dalam sejarah bahwa PKI adalah pemberontak akan di “tipe-x” dan untuk selanjutnya seluruh peraturan yang melarang penyebaran dan eksistensi Partai Komunis Indonesia akan dihapus. Pada Pemilu selanjutnya, ‘palu-arit’ akan berkibar dan memiliki hak yang sama dengan partai lain di bilik suara. PKI dengan komunisme nya akan ikut menentukan kebijakan negara.   

Bila kuburan massal anggota PKI dijadikan sebagai bukti pelanggaran HAM berat pada tahun 1965, maka bagaimana dengan peristiwa kekejaman lain yang pernah dilakukan oleh anggota PKI? Peristiwa pemberontakan tahun 1948 di Madiun, peristiwa Kanigoro yang membantai anggota PII peserta training, pembunuhan Gubernur Jawa Timur RM.Ario Suryo tahun 1948, 7 sumur neraka PKI yang ditemukan tahun 1950, pembantaian 212 tawanan di Gudang dinamit Wonogiri tahun 1948, dan masih banyak rentetan tindakan kejam PKI sebelum tahun 1965. Mengapa terhadap kekejaman PKI pada tahun sebelum 1965 tidak ikut juga dilakukan rekonsiliasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun