Mohon tunggu...
Abdul Muis Syam
Abdul Muis Syam Mohon Tunggu... Jurnalis - Terus menulis untuk perubahan

Lahir di Makassar, 11 Januari. Penulis/Jurnalis, Aktivis Penegak Kedaulatan, dan Pengamat Independen. Pernah di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 90-an. Owner dm1.co.id (sejak 2016-sekarang). Penulis novel judul: Janda Corona Menggugah. SALAM PERUBAHAN.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rizal Ramli Gebrak Meja, Sebuah Perlawanan Kepada Para “Bandit”

6 Mei 2016   08:39 Diperbarui: 6 Mei 2016   08:45 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menko Kemaritiman Rizal Ramli ketika berdialog dengan para nelayan Muara Angke, di Jakarta, Rabu (4/5/2016) --Abdul Muis Syam--

PADA artikel saya sebelumnya, berjudul: “Virus yang Melumpuhkan Demokrasi dan Bangsa itu Bernama Pengpeng (Penguasa-Pengusaha)”, --terdapat pandangan seorang pemenang nobel ekonomi, Mancur Olson, yang menekankan pandangannya, bahwa satu faktor utama penyebab kehancuran suatu bangsa adalah karena adanya gangguan koalisi pengusaha yang berkolusi dengan penguasa dalam sistem kelembagaan negara.

Cukup sederhana untuk memahami pandangan Mancur Olson tersebut. Yakni, bahwa proses kehancuran suatu bangsa itu akan sangat diwarnai dengan situasi munculnya banyak kebijakan yang seolah-olah adalah untuk kepentingan bangsa, namun sebetulnya kebijakan-kebijakan yang muncul dari hasil koalisi pengusaha yang berkolusi dengan penguasa tersebut lebih memberi keuntungan besar kepada pengusaha dan penguasa itu sendiri. Dan situasi seperti inilah yang sedang terjadi di negeri kita saat ini.

Dan pada artikel kali ini, saya akan menarik satu pandangan lagi dari Mancur Olson yang akan menghubungkan “situasi lain” yang juga sedang terjadi di negeri kita saat ini.

Yakni, ketika rezim Orde Baru berhasil diruntuhkan, seluruh rakyat Indonesia pun percaya bahwa wajah demokrasi dan kedaulatan rakyat yang diemban oleh era Reformasi akan dapat berjalan mulus dan sehat. Namun nyatanya, sangat aneh dan mengherankan hal itu tidaklah terjadi.

Mancur Olson juga sempat heran dengan keanehan tersebut. Tetapi ia berhasil mengurai keanehan itu melalui karyanya “Power and Prosperity (2000)” dengan diawali sebuah pertanyaaan tentang Reformasi, tetapi Reformasi yang terjadi di Rusia: “The lifting of the iron curtain revealed something else that the developed nations of the West, whether they had been winners or losers in World War II, did not expect to see: an extraordinary amount of official corruption and Mafia-style crime?”

Pertanyaan tersebut identik dengan yang terjadi di Indonesia, yakni: “mengapa setelah rezim represif dan otoriter runtuh, bukan kesejahteraan rakyat yang muncul, melainkan kelompok jaharu (orang hina; orang kurang ajar; penjahat)?

Dan Mancur Olson pun menggalinya lalu menerangkan keanehan itu dengan menemukan dua model “bandit” sebagai penyebabnya, --persis dengan penyebab yang membuat orang seperti Rizal Ramli hingga kini juga tak pernah berhenti “bersuara keras” dan melawan karena adanya dua model “bandit” tersebut.

Yakni, menurut Mancur Olson, kedua model bandit itu adalah “bandit menetap” (stationary bandits) dan “bandit berkeliaran” (roving bandits).

Olson menjelaskan pada masa rezim represif, seorang bandit berkuasa, tetapi dia bandit menetap. Artinya, ia melakukan penekanan yang sangat “cantik” dengan memaksakan sejumlah pihak untuk maju “berkarya” sebagai “pengabdinya”. Setelah berhasil, pihak-pihak itu wajib memberi upeti buat bandit menetap tersebut.

Menurut Olson, di saat bandit menetap runtuh, muncullah “bandit berkeliaran (pengelana)” yang tak lagi terikat pada sang ”boss”. Mereka yang semula harus tunduk dan terbungkuk di depan sang boss, kini gerak mereka bebas tak terikat menjalankan perintah apa pun. Tak ada yang ditakuti, termasuk negara.

Dan yang termasuk para bandit berkeliaran itu adalah para kaum serakah yang terdiri dari pengusaha (saudagar) yang bertindak sebagai politisi sekaligus pejabat dengan memanfaatkan jabatannya (kekuasaannya) untuk berbisnis.

Dengan begitu, mereka benar-benar bisa bertindak secara bebas layaknya pencuri, pemalak, dan bahkan pemeras dengan nyaris mengabaikan kendali dari negara, sebab mereka tahu bahwa di dalam negara juga bercokol banyak pencuri dan pemeras seperti mereka. Yang dibutuhkan pada situasi seperti itu adalah memunculkan sosok-sosok pergerakan yang berintegritas tinggi yang mampu menempatkan diri secara intelektual berlandaskan ideologi bangsa yang sebenarnya.

Menyikapi pentingnya menghadirkan sosok-sosok pergerakan tersebut, seorang dosen Ilmu Komunikasi di Unhas, Aswar Hasan yang juga selaku Aktivis Forum Dosen Majelis Tribun Timur dan Ketua Komisi Informasi Provinsi (KIP) Sulsel dalam artikelnya menuliskan, ibaratnya kita sedang menonton film cowboy, di mana para bandit sedang merajalela. Penegak hukum (sherif dan anak buahnya) telah takluk, baik karena disogok atau takut. Dalam situasi seperti itu, kita sangat menantikan munculnya Sang Tolo' (Tolo’ dalam Bahasa Makassar artinya jagoan yang heroisme).

Dan sadar atau tidak, sesungguhnya situasi yang amat “menyeramkan” seperti itulah yang selama ini terus dilawan oleh sosok pergerakan perubahan seperti Rizal Ramli, sang Tolo’ tersebut.

Sayangnya, masih ada-ada saja di antara kita yang bermasa bodoh dengan situasi tersebut, bahkan ada yang menuding bahwa sang Tolo’ juga punya kepentingan dan hanya mencari panggung. Tudingan seperti ini boleh jadi karena sebagian di antara kita telah terlanjur merasa nyaman di bawah ketiak para bandit berkeliaran tersebut.

Padahal, Rizal Ramli tahu dan sangat paham persis dengan adanya dua model bandit sebagaimana yang ditunjukkan oleh Mancur Olson tersebut, dan bahkan Rizal Ramli sangat tahu solusi apa yang harus dilakukan agar kita dapat keluar dari kepungan para bandit di negeri ini. ---(Olson saja bisa tahu dengan kondisi di negeri ini, apalagi mantan aktivis seperti  Rizal Ramli yang memang sejak dulu telah giat melawan “bandit menetap” rezim Orba, juga dengan “bandit berkeliaran” seperti saat ini).

Dengan sangat memahami situasi tersebut, Rizal Ramli pun tidak serta-merta menyalahkan sejumlah pihak (mereka yang bertitel sebagai rakyat sipil) yang telah terlanjur nyaman dengan “kehadiran” para bandit berkeliaran tersebut.

Disebut merasa nyaman, pertama, karena boleh jadi mereka telah mendapat “nafkah” dari para bandit berkeliaran tersebut. Dan, kedua, boleh jadi juga karena merasa satu suku dengan menganggap para bandit pengelana tersebut punya “profil positif”. Olehnya itu, Rizal Ramli sama sekali tak ingin melakukan perlawanan terhadap rakyat sipil seperti itu.

Rizal Ramli pada setiap kesempatan dalam menghadapi setiap masalah yang timbul amat jelas dan tegas melawan keserakahan para bandit tersebut, yakni dengan cara “menghadirkan negara” yang di dalamnya terdapat ideologi, kewibawaan, serta kedaulatan yang harus dijunjung tinggi untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Ketegasan Rizal Ramli yang sering menghadirkan negara pada setiap masalah bangsa yang dihadapinya, beberapa di antaranya telah dibuktikan. Yaitu di antaranya, ketika menjabat sebagai Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli sempat menggebrak meja di hadapan seorang yang boleh dikata “bandit”, yakni James Moffett selaku Chief Executive Officer PT Freeport-McMoran.

Saat itu, tahun 2000 Rizal Ramli adalah sebagai ketua tim negosiasi kontrak Freeport dengan anggota mantan Menteri Luar Negeri Alwi Sihab dan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.

Ketika itu James Moffett bermaksud menyogok Rizal Ramli dengan berkata, “Rizal Ramli, we are ready to pay the government of Indonesia US$ 3 billion, tapi tolong lupakan sejarah perpanjangan kontrak 1980-an.”

Bukan cuma itu, James Moffet juga membujuk untuk memberi service dan kenyamanan buat Rizal Ramli dengan mengatakan, “Lain kali jangan bertemu (rapat) di hotel Mahakam yang jelek ini. Kita (bisa) ketemu di tempat orang kaya Amerika Serikat, di Colorado. Saya tahu, Anda senang dengan musik klasik, dan broadway. Kalau Anda ke sana, Anda bisa pakai jet saya.”

Mendengar ocehan James Moffet yang bermaksud menyogok dengan merayu dirinya seperti itu, di mana Rizal Ramli menyerap cara-cara James Moffet tersebut merupakan penghinaan yang luar biasa bukan hanya kepada dirinya tetapi juga kepada negara, sehingga Rizal Ramli pun langsung menggebrak meja dan berkata, “Anda pikir saya ini pejabat negara apa?”

Sikap tegas Rizal Ramli yang menghadirkan negara dalam setiap permasalah yang dihadapi dalam “bentuk” menggebrak meja bukan cuma kali itu ditunjukkannya sebagai bukti perlawanannya terhadap para “bandit” di negeri ini.

Pada Rabu (4 Mei 2016), Rizal Ramli kembali geram. “Bilang sama Podomoro (pengembang properti Agung Podomoro), jangan ada yang sok jago di sini. Saya tidak takut,” bentak Rizal Ramli sambil menggebrak meja, saat berdialog dengan nelayan, di Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke, Jakarta.

Menko Maritim dan Sumber Daya itu harus geram dan mengancam pengembang reklamasi Pulau G Teluk Jakarta, PT Muara Wisesa Samudra, karena mendapat laporan dari para nelayan, bahwa pihak pengembang tersebut melarang petugas kementerian melakukan pengawasan.

“Mau jadi apa negara ini kalau segala sesuatunya diatur dan mengikuti kemauan swasta?,” lontar Rizal Ramli di dampingi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya; dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Menurut Rizal Ramli, ini Republik didirikan untuk semua, bukan orang per orang. “Minggu depan harus terima tim pengawas, Wisesa harus dihentikan. Saya minta Tim Bu Siti (Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup), dan anak Buah Bu Susi, saya minta bantu Kodam Jaya untuk mengawal pengawasan,” ujar Rizal Ramli seraya menambahkan, bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan KPK untuk segera menindak yang bandel-bandel, yang melanggar aturan.

Namun pada kesempatan tersebut, Rizal Ramli menjelaskan, bahwa dalam pembangunan reklamasi pulau ada tiga kepentingan yang harus diakomodir. Yakni negara, masyarakat, dan swasta. Kepentingan negara, menurut Rizal Ramli, meliputi meminimalisir dampak terhadap lingkungan. Seperti tata ruang terkelola dengan baik, resiko banjir dikurangi, dan ada aspek penerimaan negara.

“Seperti dikatakan Presiden (Jokowi), tidak bagus reklamasi dikendalikan oleh swasta, diatur sendiri, bikin peta sendiri, rancangan sendiri. Tugas kami (pemerintah) bagaimana ketiga kepentingan bisa dioptimalkan, tapi di-drive oleh negara,” kata Rizal Ramli.

Rizal Ramli sangat menolak keras jika para pengembang menganggap nelayan sebagai virus. Kehidupan nelayan, kata Rizal Ramli, seharusnya dibuat lebih baik, dibikinkan perumahan, dibuat agar tertib dan tertata serta diberi kemudahan sesuai dengan kebutuhannya sebagai nelayan, sehingga bisa menjadi nilai tambah, termasuk bagi pariwisata daerah.

Dan demikianlah adanya, bahwa sekali lagi, bagian gebrak meja yang dilakukan Rizal Ramli tersebut adalah salah satu bentuk ketegasan menghadirkan negara sekaligus sebagai sebuah perlawanan terhadap para bandit di negeri ini, termasuk di dalamnya adalah para Pengpeng serakah. Sebab, bukankah para bandit ini bisa merasa leluasa karena di dalam pemerintahan sendiri banyak bercokol para bandit yang serupa? Namun semoga saja kita semua bisa keluar dari kepungan para bandit di negeri ini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun