DALAM sebuah postur anggaran dan dalam pengelolaan ekonomi bangsa, baik itu APBN maupun APBD, jika dalam pelaksanaannya mengalami beberapa defisit maka itu adalah indikator yang cukup jelas betapa buruknya kinerja pemerintahan yang bersangkutan.
Dan sepanjang pemerintahan SBY (selama dua periode) hingga jelang akhir masa jabatannya selaku presiden, defisit adalah hal yang sangat sering terjadi secara beruntutan.
Sayangnya, sejauh ini rakyat di lapisan bawah tidaklah banyak tahu tentang defisit tersebut. Sebab sebagai indikator buruk dari kinerja yang ditampilkan oleh pemerintahan SBY, informasi dan pemahaman seputar defisit tersebut tentunya sangat sedikit diekspos di media cetak maupun elektronik.
Kalau pun ada info atau berita tentang defisit yang sedang dialami pemerintah, maka itu pasti tak seheboh dengan berita politik, misalnya tentang partai politik dan pemilihan presiden seperti saat ini, di mana setiap isu-nya selalu sengaja “dikeroyok” secara massal di ruang publik, padahal di dalamnya lebih banyak dipenuhi bualan-bualan.
Meski begitu, Dr. Rizal Ramli selaku mantan Menko Perekonomian sekaligus sebagai ekonom senior di negeri ini merasa perlu untuk senantiasa mengingatkan kepada publik tentang kondisi perekonomian bangsa, termasuk tentang defisit dan dampak buruk yang akan ditimbulkannya.
Rizal Ramli yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan di era Presiden Gus Dur itu tak henti-hentinya mengingatkan, bahwa sepanjang pemerintahan SBY (hingga kini) sudah terjadi empat defisit (Quarto-Deficit).
Pada akhir April 2014, misalnya. Anggota panel ekonomi di badan dunia (PBB) ini kembali mengungkapkan terjadinya quarto defisit, dilansir sayangi.com. Yakni, defisit neraca perdagangan sebesar US$ 6 Miliar; defisit neraca pembayaran US$ 9,8 Miliar; defisit balance payment US$ 6,6 Miliar; dan defisit APBN.
Dalam “bahasa” Rizal Ramli, defisit-defisit itu membuat Indonesia berada dalam status “lampu kuning”. Dan jika itu terjadi, kemudian sulit diatasi, maka menurutnya, Indonesia akan sangat memungkinkan masuk ke status yang lebih parah (lampu merah), seperti yang pernah terjadi pada saat Indonesia mengalami krisis moneter, 1998 silam.
Tentang status “lampu kuning” itu pula Rizal Ramli kembali menulis tweet dalam akun miliknya (@RamliRizal).bahwa “SBY wariskan ekonomi RI ‘lampu kuning’, quarto deficit (trade, BOP, CA, Budget). Rupiah terus tertekan. Siapapun presiden harus potong itu.”
Anehnya, defisit-defisit tersebut juga tak kunjung bisa “ditambal” meski Indonesia terus menambah utang luar negeri secara melimpah.
Dari laporan Bank Indonesia (BI) menyebutkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2014 tercatat sebesar US$ 283,7 Miliar. Angka ini naik 9,7 persen dibandingkan posisi Mei 2013.