Lihat ke Halaman Asli

Zainul Arifin

Mahasiswa

Negosiasi Dagang Indonesia-AS 2025: Tarik-Ulur Tarif di Balik Tarif 19%

Diperbarui: 25 Juli 2025   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi bongkar muat container impor di Pelabuhan Tanjung Priok (sumber: pexels.com/Tom Fisk)

Ancaman Tarif 32% dan Latar Belakang Negosiasi

Hubungan dagang Indonesia--Amerika Serikat memasuki babak baru yang tegang pada pertengahan 2025. Presiden AS Donald Trump secara mengejutkan mengumumkan kebijakan tarif impor sebesar 32% untuk seluruh produk asal Indonesia yang masuk pasar AS, berlaku mulai 1 Agustus 2025. Langkah sepihak ini diklaim Trump perlu untuk mengatasi defisit perdagangan AS terhadap Indonesia yang dianggap merugikan Amerika selama bertahun-tahun. Trump menegaskan angka 32% itu "jauh lebih rendah" dari yang ia anggap seharusnya, dan bahkan memperingatkan Jakarta agar tidak membalas dengan tarif serupa -- ancaman retaliasi akan dibalas kenaikan tarif lebih tinggi lagi.

Kebijakan keras Trump tersebut sontak memicu kekhawatiran pemerintah Indonesia. Pasalnya, Amerika Serikat adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia dengan nilai perdagangan mencapai USD 38 miliar pada 2024 dan surplus di pihak Indonesia sekitar USD 17,9 miliar. Tarif selangit 32% berpotensi memukul ekspor andalan Indonesia ke AS, mulai dari tekstil, alas kaki, produk karet hingga minyak sawit. Pemerintah Indonesia pun bergerak cepat mencari solusi melalui jalur negosiasi diplomatik. Sejak April 2025, Jakarta intensif melobi Washington di berbagai tingkatan. Indonesia termasuk dalam 20 negara pertama yang memulai perundingan dengan AS setelah menandatangani non-disclosure agreement (NDA) dengan USTR, sebagai tanda resmi masuk fase negosiasi. Kunjungan delegasi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dilakukan ke Washington, dan komunikasi dijalin melalui USTR serta Departemen Perdagangan AS. Menko Airlangga bahkan dijadwalkan bertolak ke Washington DC segera setelah mendampingi Presiden RI dalam kunjungan kenegaraan, demi meredam dampak kebijakan tarif Trump melalui diplomasi ekonomi.

Kesepakatan 19%: Isi Perundingan dan Komitmen Kedua Pihak

Setelah serangkaian negosiasi maraton, puncaknya Presiden Joko Prabowo Subianto (Presiden RI) melakukan pembicaraan langsung via sambungan telepon dengan Presiden Trump pada pertengahan Juli 2025. Hasilnya, Trump setuju menurunkan tarif impor atas produk Indonesia menjadi 19% -- jauh lebih rendah dari rencana awal 32%. Penurunan tarif ini diumumkan Trump pada 15 Juli 2025 dan diklaimnya sebagai hasil kesepakatan langsung dengan Prabowo. Indonesia menjadi negara pertama yang mencapai kesepakatan pasca ancaman surat resmi Trump, bahkan memperoleh tarif terendah di antara negara-negara ASEAN lainnya yang turut dikenai kebijakan serupa. Sebagai perbandingan, Vietnam dan Filipina dikenai tarif 20%, Malaysia 25%, sementara Thailand dan Kamboja terancam hingga 36%. Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menyebut capaian 19% itu "hasil negosiasi yang jauh lebih baik dibanding proposal awal 32%, bahkan lebih rendah daripada tarif untuk negara tetangga". Meski demikian, kalangan dunia usaha tetap berharap tarif bisa ditekan lebih rendah lagi ke depan seiring perundingan lanjutan.

Namun, angka 19% bukan didapat tanpa konsekuensi. Justru, Indonesia harus menyepakati serangkaian konsesi besar kepada Amerika Serikat sebagai imbal balik. Dalam pengumumannya, Trump merinci bahwa Indonesia berkomitmen membeli produk AS dalam jumlah masif: antara lain senilai USD 15 miliar untuk energi, USD 4,5 miliar untuk produk pertanian, serta pembelian 50 unit pesawat Boeing (seri 777) untuk maskapai Garuda Indonesia. Tak hanya itu, kesepakatan juga mensyaratkan penghapusan seluruh tarif impor Indonesia atas produk AS -- barang-barang AS masuk Indonesia dengan tarif 0%. Artinya, jika produk ekspor Indonesia ke AS tetap dikenai tarif 19%, produk ekspor AS ke Indonesia dibebaskan bea masuk sama sekali. Trump secara gamblang menyombongkan hasil ini: "They are going to pay 19% and we are going to pay nothing... we will have full access into Indonesia," ujarnya, menegaskan keuntungan penuh di pihak AS.

Berikut poin-poin utama hasil negosiasi dagang Indonesia--AS 2025 yang telah terungkap:

  1. Tarif Impor AS 19% bagi Produk Indonesia: AS menurunkan tarif impor untuk barang Indonesia dari rencana 32% menjadi 19% mulai 1 Agustus 2025. Tarif ini berlaku di luar tarif sektoral yang sudah ada, artinya dikenakan di atas tarif normal per produk
  2. Tarif Impor Indonesia 0% bagi Produk AS: Sebagai imbal balik, Indonesia menghapus tarif bea masuk bagi produk AS menjadi 0% (bebas bea), kecuali beberapa pengecualian terbatas seperti minuman beralkohol dan daging babi yang tetap dikenai tarif tinggi demi alasan regulasi domestik
  3. Komitmen Pembelian Produk AS: Indonesia sepakat melakukan pembelian besar dari AS, mencakup USD 15 miliar komoditas energi (migas, LNG, batu bara, dsb.), USD 4,5 miliar komoditas pertanian (gandum, kedelai, serealia, dll.), serta pengadaan 50 pesawat Boeing 777 untuk armada Garuda Indonesia. Pembelian ini dijadwalkan secara multi-tahun dan masih akan ditindaklanjuti melalui kajian bisnis oleh BUMN terkait (Pertamina untuk impor energi, dan Garuda untuk pembelian pesawat)
  4. Pelonggaran Regulasi Non-Tarif: Indonesia bersedia memberikan kemudahan lain bagi produk AS, antara lain pembebasan aturan local content bagi produk teknologi AS (misalnya perangkat elektronik tidak wajib mengandung komponen lokal), kemudahan perizinan impor bagi barang-barang AS, perlindungan hak kekayaan intelektual perusahaan AS, hingga penyesuaian standar Indonesia agar mengikuti standar internasional untuk ekspor-impor barang bernuklir atau berteknologi strategis. Sebaliknya, AS membuka dialog lanjutan terkait kerangka perdagangan digital dan kerja sama rantai pasok dengan Indonesia sebagai bagian dari kesepakatan jangka panjang
  5. Klausul Pencegahan Transshipment: Kedua negara sepakat mencegah praktik pengiriman ulang barang melalui negara ketiga untuk menghindari tarif (misalnya barang China dialihkan lewat Indonesia). Indonesia wajib memperketat aturan rules of origin dan transparansi bea cukai. Jika Indonesia gagal mencegah praktik ini, AS berhak menerapkan kembali tarif lebih tinggi sebagai sanksi. Pemerintah RI menyatakan komitmennya untuk menolak barang transshipment dan siap menjatuhkan penalti jika ada pelanggaran

Kesepakatan komprehensif di atas membuat pemerintah Indonesia mengeklaim tercapainya win-win solution sementara. Presiden Prabowo Subianto menyambut kesepakatan ini sebagai "era baru hubungan dagang yang saling menguntungkan" bagi kedua negara. "Alhamdulillah negosiasinya alot tapi akhirnya ada persepakatan. Kita memahami kepentingan mereka, mereka pun memahami kepentingan kita, dan kita sepakati tarifnya dari 32% diturunkan jadi 19%," ujar Prabowo menjelaskan hasil perundingan tingkat tinggi dengan Trump. Prabowo menegaskan setiap keputusan diambil dengan hitung-hitungan cermat, dan prioritas utamanya adalah melindungi kepentingan nasional dan pekerja Indonesia. "Semua sudah kita hitung, kita berunding. Yang penting bagi saya adalah rakyat saya... saya harus lindungi pekerja-pekerja kita," tegas Presiden Prabowo. Pemerintah menyatakan keberhasilan menurunkan tarif ini memberi kepastian bagi dunia usaha dan peluang positif untuk ekspor ke depan. Kesepakatan ini juga mencegah potensi guncangan besar yang ditakutkan pelaku industri apabila tarif 32% jadi berlaku penuh mulai Agustus. Washington sendiri menyepakati penangguhan kenaikan tarif tersebut untuk Indonesia, sembari melanjutkan dialog bilateral atas isu-isu perdagangan yang lebih luas di waktu mendatang. Meski tarif 19% masih dinilai membebani eksportir, setidaknya ada kepastian dan Indonesia terhindar dari skenario terburuk perang dagang total dengan AS.

Sektor-Sektor Kunci yang Menjadi Sorotan

Beberapa sektor kunci mengemuka dalam negosiasi dagang Indonesia--AS ini, baik yang menjadi andalan ekspor Indonesia maupun yang menjadi kepentingan impor bagi AS:

  1. Industri Padat Karya (Tekstil, Pakaian, Alas Kaki): Sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja Indonesia dan sangat bergantung pada pasar ekspor ke Amerika. Tarif 32% jelas mengancam daya saing produk tekstil, garmen, dan sepatu Indonesia di pasar AS. Dengan penurunan tarif menjadi 19%, industri ini mendapat sedikit napas lega. Menurut ekonom Bhima Yudhistira, tarif 19% "tetap menguntungkan sejumlah produk ekspor unggulan Indonesia seperti alas kaki, pakaian jadi, karet, dan CPO" dibanding skenario tarif lebih tinggi. Kendati masih ada beban biaya, setidaknya produk-produk ini masih bisa bersaing di pasar AS dengan penyesuaian harga. Apalagi, tarif 19% Indonesia lebih rendah dibanding Vietnam (20%) sehingga memberi sedikit keunggulan kompetitif untuk menarik pembeli AS beralih ke produk Indonesia. Pemerintah menyebut capaian ini "huge wins untuk industri padat karya" karena berhasil menyelamatkan lapangan kerja sektor tersebut dari ancaman penurunan order ekspor. Meski demikian, pelaku usaha berharap pemerintah tetap memperjuangkan penurunan tarif lebih lanjut agar benar-benar setara dengan mitra dagang utama lainnya.
  2. Komoditas Pertanian dan Perkebunan: Produk agrikultur Indonesia seperti minyak sawit mentah (CPO), karet, kopi, dan kakao turut menjadi sorotan. Indonesia meminta AS menghapus tarif 19% khusus untuk beberapa komoditas utama ini dalam perundingan detail lanjutan. Hal ini wajar mengingat Indonesia adalah eksportir CPO terbesar dunia dan memasok 85% kebutuhan CPO AS pada 2024. Menjadikan CPO bebas tarif akan sangat menguntungkan Indonesia. Sementara itu, dari sisi impor, Indonesia sepakat meningkatkan pembelian gandum, serealia, kedelai, dan produk pertanian AS dalam jumlah besar. Akibatnya, pasar domestik bahan pangan berpotensi dibanjiri produk impor murah. "AS akan sangat diuntungkan dari penetrasi ekspor gandum ke Indonesia karena tarif 0%. Konsumen mungkin senang harga mi instan dan roti turun, tapi produsen pangan lokal akan terimbas negatif," kata Bhima Yudhistira memperingatkan. Kebijakan swasembada pangan pemerintah bisa terancam karena produk pertanian impor lebih murah membanjiri pasar lokal. Sektor gula, kedelai, hingga peternak jagung lokal perlu diantisipasi agar tidak kalah bersaing. Kalangan pengamat mendorong pemerintah menyiapkan kebijakan pendukung bagi petani lokal, misalnya subsidi atau proteksi non-tarif, untuk mengimbangi komitmen impor pertanian dari AS ini.
  3. Energi dan Migas: Di sektor energi, Indonesia akan mengimpor minyak mentah, LNG, atau batu bara dari Amerika Serikat senilai puluhan triliun rupiah. Bagi Indonesia, ini ironis karena berarti meningkatkan ketergantungan pada impor migas sementara neraca migas domestik selama ini defisit. Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai lonjakan impor energi AS ini berisiko melebarkan defisit transaksi berjalan dan menekan nilai tukar rupiah, apalagi jika harga energi dunia naik. Pemerintah perlu memastikan impor energi dari AS tidak mengganggu program bauran energi nasional atau merugikan produsen migas domestik (seperti Pertamina). Dari sisi AS, ekspor LNG dan minyak ke Indonesia jelas menguntungkan industri energi Amerika dan membantu mengurangi surplus dagang Indonesia. Kesepakatan ini juga membuka peluang investasi perusahaan energi AS di sektor hilir Indonesia, seiring komitmen jangka panjang yang terjalin.
  4. Industri Penerbangan dan Teknologi: Pembelian 50 pesawat Boeing 777 oleh Garuda Indonesia menjadi salah satu sorotan publik. Di satu sisi, ini mendukung produsen dirgantara AS (Boeing) dan memperkuat armada Garuda. Namun, dengan kondisi keuangan Garuda yang baru restrukturisasi, muncul pertanyaan apakah Indonesia terlalu membebani BUMN tersebut demi memenuhi kemauan politik dagang AS. Pemerintah menyatakan pembelian Boeing akan disesuaikan business plan Garuda dan dilakukan bertahap setelah kajian bisnis. Selain itu, di sektor teknologi, syarat penghapusan aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk produk teknologi AS dapat berdampak pada industri elektronika lokal. Produsen ponsel, perangkat IT, hingga startup lokal berpotensi menghadapi kompetisi lebih ketat dari barang impor AS yang kini bebas tarif dan tidak wajib kandungan lokal. Sebaliknya, konsumen dan pelaku industri downstream bisa diuntungkan akses terhadap barang teknologi AS dengan lebih mudah. Pemerintah perlu menyeimbangkan dengan upaya transfer teknologi atau investasi dari perusahaan AS agar industri lokal tidak sepenuhnya tersisih.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline