Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ekonomi Atensi: Bagaimana Algoritma dan Hal-Hal Viral Mengendalikan Dompet dan Pikiran Kita

3 Oktober 2025   11:50 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:18 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wanita yang Sedang Berbelanja Online. (Sumber Foto: pexels.com/Liza Summer)

Di era media sosial seperti saat ini, ‘viral’ bukan lagi sekadar kata yang asing. Ia kini perlahan sudah menjelma jadi cara hidup banyak orang, bahkan menjadi tolok ukur sebuah eksistensi.

Apa pun bisa diviralkan pada masa ini; es kopi super jumbo dengan topping yang manis-manis dan harga receh, skincare abal-abal yang berani klaim heboh glowing instan dalam satu malam, outfit thrifting yang dipakai seleb-seleb TikTok, sampai gimmick-gimmick politik pejabat kita  yang sepertinya sengaja dirancang untuk jadi bahan obrolan di internet dan mengalihkan isu-isu besar lainnya. Viral kini bukan lagi sebuah kejutan tanpa kesengajaan, tapi menjadi sebuah strategi yang dipikirkan dan diatur sedemikian rupa.

Generasi Z yang lahir dan besar di tengah banjir informasi digital, menjadi pemain sekaligus korban terbesar dari budaya absurb ini. Mereka menyerap segala yang trending secepat algoritma mendorong mata kepala mereka semakin lama untuk terpaku ke layar monitor, lalu tiba-tiba melepaskannya secepat jari jemari mereka menggeser timeline sosial medianya.

Di balik segala kehebohan itu, ada lagi perasaan fear of missing out (FOMO) yang semakin lama semakin menyandera hampir setiap anak-anak muda masa kini. Ada konsumsi impulsif yang mencekik mereka, ada pula politik-politik pencitraan yang menyusup tanpa ampun, dan lusinan berita-berita hoax yang dirancang untuk terus menyerap sebanyak mungkin atensi mereka.

Pertanyaan mendasarnya sekarang adalah, siapa yang sebenarnya harus memegang kendali akan budaya viral yang ‘memabukkan’ ini? Kita, atau algoritmanya?

Takut Ketinggalan Trend Baru Menjadi Norma Baru

Bagi mereka yang sudah masuk dalam candu akut budaya FOMO yang tak sehat ini, tidak update akan sebuah tren sama dengan terasing dari pergaulan. Pengetahuan dan pengalaman akan sebuah tren terbaru kini menjelma menjadi mata uang sosial yang baru. Obrolan anak-anak muda masa kini tak jauh dari sekitar produk-produk viral, dance challenge TikTok terbaru, atau tempat-tempat makan hits yang baru buka di suatu tempat.

Bagi mereka, seperti itulah seharusnya hidup. Mereka yang tidak banyak tahu tentang topik-topik tadi, maka dengan sendirinya akan menjadi terasing dan tidak lagi punya teman untuk berbagi cerita. Karena pengalaman yang ia punya dan bawa tidak lagi relevan dengan yang anak muda lainnya mau.

Akhirnya rasa FOMO akan sebuah tren bukan lagi sekadar perasaan takut atau cemas belaka. Tetapi juga menjadi kebutuhan untuk mendapatkan validasi dalam circle pergaulan mereka. Aktif mengikuti tren yang sedang viral dianggap sebagai tanda bahwa seseorang “ada” di dunia sosial saat ini. 

Di sinilah algoritma telah bekerja sebegitu licinnya dan mengatur segalanya. Ia akan memastikan hal-hal yang sedang tren tidak akan pernah habis, selalu ada yang baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun