“Basi! Madingnya udah siap terbit!” dialog lawas dari film AADC 1 itu kembali terngiang pasca Dian Sastro mengunggah kembali di akun IG miliknya. Kami angkatan milenial sontak langsung berkelana ke masa lalu. Saat masih berseragam putih abu-abu dan mengidolakan kisah Rangga dan Cinta dulu.
Apa artinya AADC 1 tanpa adegan mading? Karena dari situlah konflik mulai muncul. Cinta yang ingin mewawancarai Rangga sebagai juara lomba puisi sekolah dan Rangga yang sok cool dan menolak untuk diwawancara. Lalu terjadilah dialog “basi” tadi.
Film AADC 1 memang tidak bisa lepas dari majalah dinding (mading). Selain karena adegan ikonik tadi, mading berperan penting dalam kelancaran konflik di film AADC 1. Mading pulalah yang menjadi setting aktivitas dari para karakter Geng Cinta.
Bukan tanpa alasan memang, di tahun itu peran mading memang sangat menonjol di lingkungan sekolah. Mading menjadi wadah para siswa untuk sarana komunikasi dan informasi, penyalur ekspresi hingga kreativitas para siswa.
Tak melulu karya tulis yang formal, mading yang saya ingat juga memuat informasi-informasi ringan seputar tren yang sedang naik di masa itu. Terkadang ada juga potongan berita artis tertentu yang dirasa siswa lain perlu tahu.
Jika ada anak berprestasi memenangkan lomba maupun mendapat penghargaan tertentu, sudah jelas wajah dan namanya seketika akan populer karena pasti nangkring di mading sekolah. Mading di kala itu ibarat media, kalau bisa tembus apalagi jadi topik ulasan, artinya kamu keren!
Begitupun yang hendak dilakukan Cinta kepada Rangga, ingin mengulik pemenang puisi no 1 di sekolahnya. Menurutnya Itu akan menjadi berita yang bagus dan menarik perhatian seisi sekolah. Ya meski aslinya hanya karena Cinta penasaran saja dengan sosok Rangga yang bisa mengalahkan puisinya.
Terkadang kalau iseng, ada juga puisi bertema cinta yang dikirim oleh seseorang tanpa nama untuk mengungkapkan perasaan ke pujaan hatinya. Tapi kalau yang paling saya tunggu-tunggu dari mading tentu saja cerpen-cerpennya.
Menyesal rasanya karena saat itu cuma jadi pembaca. Tak pernah sekalipun saya mencoba untuk mengirimkan karya saya. Mungkin itu karena dulu saya termasuk murid yang pemalu dan kurang percaya diri. Menghabiskan waktu di perpustakaan dengan buku-buku karena tak punya banyak uang saku.
Mengenang kembali era mading jadul membuat saya banyak tersenyum. Mungkin ini bukan hanya soal mading tapi juga kenangan-kenangan yang terseret ke dalamnya. Seperti halnya mading di film AADC yang tak membekas di benak penonton tanpa selipan drama pertengkaran antara Cinta dan Rangga. Mereka seolah melengkapi, lebih seperti, apa jadinya Cinta dan Rangga tanpa mading dan apa jadinya pula mading tanpa Cinta dan Rangga.