Kalau dulu saya membuat majalah ketika duduk di Perguruan Tinggi kini anak SMP-pun sudah bisa membuatnya secara mandiri. Membuat majalah di masa sebelum digital itu tidak mudah, terlebih jika bicara biaya cetak. Butuh dana yang lumayan banyak karena ada minimum order yang harus dipenuhi. Untuk mendapatkan dana tersebut, kami punya tim pemasaran yang bergerak mencari iklan ke sana sini.
Di era digital, biaya cetak sudah tidak ada. Anak-anak bisa lebih fokus kepada isi majalah. Mereka tak perlu capek mencari iklan maupun capek mondar-mandir untuk pergi ke percetakan dan membagikannya ketika sudah terbit. Cukup kirim link ke grup Whatsapp dan semua siswa, guru dan orang tua siswa bisa mengaksesnya.
Bukan berarti jaman ini lebih baik, hanya lebih mudah saja secara teknis dan produksi. Menurut saya setiap jaman punya masanya. Dulu biarpun kami (pers mahasiswa) harus mencari dana kesana kemari tapi ada ilmu pemasaran yang kami kantongi. Bolak balik ke percetakan pun membuat kami mengerti alur produksi. Di sela-sela segala aktivitas itu terselip pula kenangan dan candaan yang tak bisa diganti.
Ya begitulah, baik mading versi AADC, majalah cetak maupun majalah digital di era ini sama-sama punya masa dan kenangan sendiri-sendiri. Meski banyak perbedaan tapi mereka sama-sama menjadi wadah literasi bagi siswa dan siswi. Selain di bangku kelas, di sinilah budaya literasi para siswa bisa berkembang dan bersemi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI