Lihat ke Halaman Asli

Zachery Hadiputra Karli

Pelajar di Kolese Kanisius

Tiga Artikel, Satu Suara: Krisis Keteladanan di Negeri Hantu

Diperbarui: 5 Oktober 2025   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di tengah banyaknya masalah yang menimpa bangsa ini --- mulai dari krisis kepercayaan publik, sandiwara hukum, hingga hilangnya keteladanan --- tiga penulis berbeda ternyata menyuarakan keresahan yang sama: 

"Negeri ini sedang kehilangan arah moral."

F. Rahardi dalam artikelnya "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu" menggunakan metafora sederhana tentang ulat bulu untuk menggambarkan mentalitas bangsa yang mudah panik dan takut terhadap hal-hal sepele. Menurutnya, ledakan populasi ulat bulu bukanlah bencana, tetapi justru bagian dari keseimbangan alam. Sayangnya, masyarakat dan bahkan pemimpin justru menanggapinya secara berlebihan. Melalui gaya bahasa satir dan perbandingan yang tajam, Rahardi menyoroti bahwa ketakutan semacam ini hanyalah cerminan dari ketidaksiapan kita menghadapi persoalan yang jauh lebih serius---kerusakan moral, kemiskinan, dan ketidakjujuran pemimpin.

Sementara itu, Tempo dalam artikelnya "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal" menyuarakan kritik yang lebih langsung dan faktual. Kasus pagar laut di pesisir Banten dijadikan contoh bagaimana penegakan hukum di negeri ini penuh drama dan ketidakjelasan. Penulis editorial menyoroti lambannya tindakan pemerintah dan tarik-menarik kewenangan antarinstansi yang hanya memperlihatkan lemahnya koordinasi. Dengan gaya penulisan yang lugas dan argumentatif, Tempo menegaskan bahwa

 hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu---tidak boleh lagi tajam ke bawah, tumpul ke atas. 

Artikel ini menunjukkan bahwa persoalan bangsa bukan hanya soal hukum yang tidak ditegakkan, tetapi juga tentang komitmen moral pemimpin dalam menegakkan keadilan.

Budiman Tanuredjo, melalui tulisannya "Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati", mengingatkan kita pada akar dari semua persoalan itu: hilangnya keteladanan. Ia menyoroti perilaku elit politik yang dengan mudah melupakan sumpah jabatan, bahkan berani melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi demi kepentingan partai dan kekuasaan. Dengan menghubungkan sejarah reformasi 1998 dan kondisi politik sekarang, Budiman menegaskan bahwa sumpah jabatan bukan sekadar formalitas, melainkan janji moral yang seharusnya dipegang teguh.

Jika ketiga artikel ini disatukan, terlihat bahwa semuanya berbicara dalam satu nada: krisis moral dan hilangnya kepercayaan. F. Rahardi menyoroti fobia semu masyarakat, Tempo mengkritik sandiwara hukum, dan Budiman Tanuredjo mengingatkan pentingnya sumpah dan etika. Ketiganya sama-sama menggambarkan bangsa yang terlena oleh ketakutan palsu, disibukkan oleh drama politik, dan lupa pada nilai kejujuran serta tanggung jawab.

Seperti yang ditulis Budiman, bangsa ini kehilangan banyak "muazin moral". Kini, tantangan kita adalah melahirkan kembali suara-suara jernih yang berani berseru dari tengah masyarakat. Jika tidak,

 kita akan terus hidup di republik hantu yang dipenuhi sandiwara, fobia, dan sumpah palsu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline