Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Memandang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Diperbarui: 7 April 2016   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pasal kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan telah diterbitkan melalui Perpres no 62/2016, dimana kenaikan terjadi bagi peserta dengan kepesertaan dengan manfaat kelas I dan II, sementara untuk besaran iuran bagi kelas III tidak mengalami kenaikan.

Hal ini menyusul kenaikan tarif premi dari kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang dibayarkan oleh negara dari sebelumnya Rp19 ribu menjadi Rp23 ribu. Apakah aturan baru ini menjadi sarana ampuh menambal defisit BPJS Kesehatan? Atau hanya menjadi awalan pembuka bagi tambalan selanjutnya?.

Skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengandung pinsip gotong royong dan bersifat sosial, yang pada pokok prinsipnya memang mengutamakan azas pengelolaan nirlaba yang tidak berorientasi mencari keuntungan.

Berdasarkan record sebelumnya, bahkan belum sampai titik impas, BPJS Kesehatan mengalami defisit yang terbilang besar. Akhir tahun lalu diperkirakan nilai defisitnya mencapai Rp6 triliun. Dengan jumlah kepesertaan saat ini yang mencapai 164 juta, ditaksir nilai defisit melambung hingga Rp9.79 triliun.

Atas kalkulasi tersebut, maka pilihan kebijakan kenaikan besaran iuran kepersertaan BPJS Kesehatan diambil. Sebab, tanpa kenaikan iuran yang seperti telah ditetapkan, bisa jadi defisit keuangan mengakibatkan berhentinya pelayanan BPJS Kesehatan.

Benturan Prinsip

Pada pengelolaan BPJS Kesehatan, maka pedoman dasarnya adalah asuransi sosial dan bukan komersial, sehinga format yang ditawarkan adalah model asuransi berbiaya murah, dengan perlindungan jaminan kesehatan secara menyeluruh. Disini tentu menjadi titik rawan yang akan berbenturan dengan prinsip utama penyelenggaraan BPJS Kesehatan, yakni sustainabilitas (keberlanjutan) atas program tersebut.

Mengapa demikian? Problemnya adalah tanpa screening yang dilakukan diawal kepesertaan, maka profile resiko kesehatan tidak dapat diketahui dan estimasi pembiayaan kesehatan tidak dapat disimulasikan. Hal ini menjadi bermasalah, karena dewasa ini pola penyakit berubah dan berkembang berdasarkan pola dan gaya hidup masyarakat dari problem kesehatan tropikal dan menular (demam berdarah) menjadi penyakit tidak menular (diabetes, stroke dll).

Kondisi tersebut mengakibatkan pembiayaan kesehatan menjadi lebih besar, karena kategori penyakit tidak menular membutuhkan penanganan lebih intensif. Dengan begitu, agaknya bisa dipastikan bila BPJS Kesehatan memang memiliki “suratan takdir” untuk menanggung rugi. Situasi tersebut dimungkinkan, ketika kemudian hidup berasuransi belum menjadi sebuah budaya.

Akibatnya, masyarakat membayar ketika membutuhkan pengobatan dan kemudian lalai membayar ketika tidakmembutuhkan. Dilain sisi, terjadi “insurance effect” ketika semua penyakit kemudian diakseptasi untuk dilayani masuk ke pusat pelayanan kesehatan. Kini semua berbondog ke rumah sakit untuk minta dilayani. Aspek preventif dan promotif tidak berjalan, sebagai upaya pencegahan penyakit.

Bahkan perilaku hidup tidak sehat masih diakseptasi untuk menjadi bagian dari pertanggunan kesehatan sosial ini, seperti halnya kebiasaan merokok. Kalau sudah demikian, maka apa yang menjadi keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan kali ini memang hanya akan menjadi solusi sementara dalam jangka pendek, belum menyelesaikan problem dasarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline