Pada tahun 2025, pemerintah pusat memutuskan memangkas Transfer ke Daerah (TKD) secara tajam. Dari Rp919 triliun pada 2024, turun menjadi sekitar Rp693 triliun.
Selisih Rp226 triliun atau hampir seperempat dari total dana yang selama ini menjadi nadi fiskal di tingkat daerah.
Langkah ini, meski dibungkus retorika efisiensi dan konsolidasi fiskal, memiliki konsekuensi ekonomi yang lebih dalam dari sekadar penghematan anggaran.
Dalam struktur ekonomi Indonesia, daerah bukan sekadar penerima dana; mereka adalah penyambung nadi pertumbuhan nasional.
Lebih dari sepertiga belanja pemerintah secara agregat dilakukan di level daerah, dan belanja publik daerah memiliki multiplier ekonomi antara 1,2 hingga 1,4 kali lipat.
Artinya, setiap Rp1 belanja publik daerah menghasilkan tambahan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar Rp1,2 hingga Rp1,4. Ketika TKD dipangkas 24,6%, maka mesin pertumbuhan di level lokal otomatis kehilangan bahan bakarnya.
Bila kita riset sederhana, regresi fiskal menunjukkan koefisien sebesar 0,20, yang berarti setiap penurunan 1% TKD menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 0,2 poin persentase, dengan asumsi variabel lain tetap.
Dengan penurunan TKD hampir 25%, efek langsungnya adalah kontraksi pertumbuhan sebesar 0,5 poin persentase terhadap baseline 5,2%.
Dalam skenario ini, pertumbuhan ekonomi nasional 2025 kemungkinan hanya mencapai sekitar 4,7%, kecuali bila ada stimulus baru di sisi lain untuk daerah
Dampak itu tidak merata. Wilayah yang paling terpukul adalah kawasan timur Indonesia, tempat sebagian besar pemerintah daerah bergantung lebih dari 70% pendapatannya pada TKD.