Lihat ke Halaman Asli

Cerita Sore: Antara Pameran, Buku dan Realita Pengamen Cilik Jalanan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Malam minggu kemarin (tanggal 11 Juni), saya jalan-jalan sore bersama adik saya ke sebuah mall di kota tempat saya berdomisili. Adik perempuan saya ngebet sekali mengajak saya ke mall itu. Bukan karena apa-apa adik saya seperti perempuan yang ngidam begitu, itu terjadi setelah saya memberitahunya kalau di mall tersebut sedang diadakan pameran laptop dari tanggal 9 hingga 12 Juni. Saya sendiri dapat infonya setelah tanpa sengaja melihat spanduk pameran tersebut di salah satu jalan protokol di kota saya.

Setelah sempat merajuk—karena saya ketiduran—karena seharusnya kami pergi pukul empat jadi melorot dua jam ke pukul enam sore, terbayarkan sudah. Adik saya senang bisa melihat pameran itu. Di pameran tersebut kami singgah dari satu stand ke stand lain. Melihat satu-persatu seri laptop terbaru dari tiap pabrikan laptop.

Puas mengelilingi pameran, saya bilang pada adik saya kalau saya mau ke toko buku yang juga satu bangunan dengan mall. Mendengar saya bilang begitu, dia mulai memanyunkan bibirnya dan menggerutu. Dia bilang kenapa saya hobi sekali ke toko buku dan betah berlama-lama di sana; dan yang membuat adik saya tak habis pikir kok bisa-bisanya saya menjadikan toko buku sebagai tempat favorit saya menghabiskan waktu.

Haha… saya tertawa saja mendengarnya. Bukan apa-apa saya senang ke toko buku. Karena saya rasa di tempat semacam itulah saya bisa tahu perkembangan buku-buku terbaru—selain bisa membaca  banyak buku secara gratis selama buku itu tidak disegel. Bukankah semua orang tahu kalau toko buku (meski tak semua toko buku) bisa dijadikan tempat baca gratis, selain perpustakaan.

Di sana saya membeli satu buku, ya semacam buku panduan bagaimana menjaring ide untuk membuat sebuah buku karya sendiri. Ada alasan kenapa saya mencomot buku itu lalu membawanya ke kasir, dan alasannya sudah jelas saya ingin sekali bisa membuat buku karya sendiri. Bangga sekali kalau itu terwujud suatu saat nanti, meskipun saya tak tahu kapan itu bisa real terwujud.

Menurut saya sebagai orang yang masih belajar bagaimana menulis, saya berasumsi menulis itu gampang-gampang sulit. Apalagi kalau menerbitkan sebuah buku hasil karya sendiri. Itu butuh proses yang tidak sebentar, alias merepotkan dan membutuhkan waktu yang lama.

Kenapa saya katakan begitu?

Bayangkan saja, semuanya dimulai dari menjaring ide dan melakukan brainstorm lalu menuangkannya dari kepala dengan membuat redaksi kata-kata yang pas agar tidak membuat orang yang membacanya kelak berkerut-kerut keningnya. Belum lagi mengedit dan segala macamnya. Hingga yang paling penting; menyerahkannya pada penerbit. Untung kalau diterima—meskipun harus menunggu sekian bulan sebelum pemberitahuan bahwa naskah itu laik terbit—dan diterbitkan, kalau ditolak? Bahkan berkali-kali?! Menyesakkan sekali bukan?

Tanya saja pada penulis yang sudah menerbitkan buku tentang bagaimana perjuangan mereka untuk lolos dari seleksi ketat penerbit hingga pada akhirnya tulisan mereka dalam bentuk buku mejeng di toko-toko buku.

Saya ingin memberitahu, bukan ini yang jadi inti dari post saya kali ini.

Baiklah, setelah saya membeli buku dan keluar dari toko buku itu adik saya bilang ‘kak, aku lapar’. Ini seolah memberi alarm buat saya untuk membawanya ke suatu tempat makan.

Walhasil, kami ke kawasan lesehan Gedung Olahraga (GOR) yang terkenal dengan makanan dan minuman murahnya, yang tidak terlalu menguras koceklah dan satu lagi sangat merakyat. Sesampainya kami di sana beuh ramai sekali, mungkin karena malam Minggu kali ya? Malam-nya para mereka yang punya pacar; dan buat yang belum punya pacar mungkin pada iri.

Disaat saya dan adik saya menunggu pesanan datang sudah ada tiga kelompok pengamen yang menunjukkan kebolehan dan kekompakan mereka dalam bermusik. Beruntungnya pada kelompok pengamen pertama saja, uang dari dompet saya berpindah. Yang lainnya, mohon maaf saja. Bukannya tidak mau memberi ceritanya. Tapi, tahulah apa maksud saya. Biarpun saya tidak terlalu menyukai lagu yang mereka bawakan, terpaksa saya dengarkan saja. Bukankah tugas saya hanya mendengarkan? Seperti kalimat dalam film drama musikal August Rush:

The music is all around you, all you have to do is listen”.

Nah, pengamen yang keempat yang membuat perhatian saya benar-benar tersita. Dia bukan kelompok pengamen macam tiga kelompok yang sebelumnya. Dia bernyanyi sendiri dengan menggunakan gitar kecil-nya. Dia seorang pengamen cilik. Kira-kira usianya enam atau tujuh tahun.

Saya bukan ingin membahas pakaiannya atau kenapa dia bisa jadi pengamen,  atau suara cemprengnya—yang entah karena tidak niat bernyanyi alias asal-asalan atau memang suaranya seperti kaleng rombeng itu, telinga saya sempat sakit ketika mendengarnya bernyanyi.

Bukan, bukan itu. Yang ingin saya bahas adalah lagu yang dia nyanyikan. Itu yang membuat saya miris.

Dia menyanyikan lagu cinta orang dewasa. Hadeuh. Kasihan sekali anak zaman sekarang kemajuan industri musik tanah air dengan segala hingar-bingarnya yang tumbuh subur agaknya tidak memberi ruang atau dampak buat anak-anak. Lagu orang dewasa sudah sangat subur bak kacang goreng tapi lagu anak-anak yang mendidik masa kanak-kanak apa juga ikut tumbuh subur?

Nyatanya TIDAK!

Saya memang tidak bisa menyalahkan siapa-siapa disini. Saya hanya bisa berpendapat mungkin para musisi kita lebih memilih untuk tetap berada pada comfort zone dengan menciptakan musik atau lagu yang bertemakan CINTA dan CINTA lagi. Jarang sekali musisi kita mau melihat dari sisi yang berbeda, memilih musik yang sedikit tematik dan berbelot dari musisi kebanyakan, dalam hal ini menciptakan musik tentang anak-anak.

Dalam hati saya, saya patut merasa bersyukur karena pada masa kecil saya masih banyak lagu anak-anak yang bisa saya dengar dan nyanyikan. Nama-nama seperti Trio Kwek-Kwek, Joshua, Chiquita Meidy, Maissy, Cindy Cenora, Tina Toon, Saskia dan Geofanny, dan masih banyak lagi. Sungguh saya juga merasa beruntung karena saya memang merasa seperti anak-anak di masa itu dengan pemikiran yang masih kanak-kanak pula.

Untuk ke depannya saya berharap musisi di luar sana bisa ikut memerhatikan anak-anak ini dengan talenta yang mereka miliki untuk MAU membuat lagu atau musik untuk anak-anak dengan lirik yang mudah dipahami dan aransemen yang ceria khas dunia anak-anak pula. Saya yakin jika satu lagu atau musik yang bertemakan anak-anak ini bisa booming satu saja, tidak menutup kemungkinan bisa menyatukan mereka.

Seperti pepatah Wizard:

You know what music is? God’s little reminder that there’s something else beside us in this universe; harmonic connection between all living beings, every where, even the stars.

Something else itu juga termasuk dengan anak-anak dan dunia mereka, kan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline