Oleh: Wisnu Wardana
Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
Budaya organisasi adalah kerangka nilai, keyakinan, dan asumsi yang membentuk perilaku individu dan kelompok dalam suatu organisasi. Edgar Henry Schein (5 Maret 1928 -- 26 Januari 2023) adalah seorang ahli teori bisnis dan psikolog kelahiran Swiss yang kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat. Ia menjabat sebagai profesor di MIT Sloan School of Management dan dikenal sebagai salah satu tokoh pendiri dalam disiplin perilaku organisasi (organizational behavior). Edgar H. Schein, telah membuat pendekatan terhadap budaya organisasi melalui teorinya yang dikenal sebagai Three Levels of Organizational Culture. Karyanya telah banyak digunakan dalam konteks bisnis, pendidikan, militer, hingga pemerintahan, dan dianggap relevan dalam menghadapi tantangan perubahan budaya organisasi masa kini.
Menurut Schein, budaya organisasi terdiri dari tiga lapisan utama: artefak (artifacts), nilai-nilai yang dianut (espoused values), dan asumsi dasar (basic underlying assumptions). Ketiganya saling berkaitan dan memainkan peran penting dalam membentuk perilaku organisasi secara keseluruhan. Dalam konteks organisasi pemerintahan, memahami ketiga level budaya ini menjadi krusial dalam mendukung reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Lapisan pertama, yaitu artefak, mencakup semua aspek budaya yang dapat diamati secara langsung. Ini bisa berupa struktur organisasi, teknologi, proses kerja, hingga simbol-simbol seperti logo, pakaian dinas, atau ritual kerja. Di lingkungan pemerintahan Indonesia, artefak budaya ini terlihat melalui perubahan besar dalam digitalisasi birokrasi. Oleh karena itu digitalisasi dianggap penting untuk mendukung birokrasi yang lebih gesit dan efisien. Transformasi ini tercermin dari implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang terus dikembangkan untuk menyederhanakan proses pelayanan publik.
Selain artefak, lapisan kedua yang dibahas Schein adalah nilai-nilai yang dianut, yaitu prinsip-prinsip eksplisit yang dijadikan pedoman dalam bertindak. Pemerintah Indonesia telah menjadikan nilai-nilai atau core value ASN yang dikenal dengan akronim BerAKHLAK (Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif). Nilai-nilai ini dideklarasikan sebagai fondasi moral dan profesionalisme bagi setiap aparatur sipil negara. Internalisasi nilai-nilai ini penting agar transformasi birokrasi tidak hanya terjadi secara struktural, tapi juga menyentuh sisi etika dan perilaku kerja pegawai.
Namun, nilai yang dinyatakan tidak selalu tercermin dalam tindakan nyata. Banyak organisasi pemerintah menghadapi tantangan dalam menjembatani gap antara nilai yang dikomunikasikan dengan perilaku yang benar-benar dijalankan. Misalnya, meskipun transparansi sering dikampanyekan, praktik tertutup dan birokratis masih kerap ditemukan dalam pengambilan keputusan atau akses terhadap informasi publik. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai yang dianut belum sepenuhnya terinternalisasi dalam keseharian pegawai.
Lapisan terdalam dari teori Schein adalah asumsi dasar, yakni keyakinan yang tertanam dan tidak disadari oleh anggota organisasi. Di banyak instansi pemerintah, masih terdapat asumsi bahwa hierarki ketat dan kepatuhan mutlak adalah syarat mutlak kelancaran kerja birokrasi. Asumsi semacam ini dapat menjadi penghambat perubahan karena cenderung mengutamakan status quo dan menolak inovasi atau ide-ide segar. Transformasi budaya organisasi yang efektif menuntut organisasi untuk mengkaji dan mengubah asumsi-asumsi mendasar ini.
Upaya untuk mereformasi budaya organisasi pemerintah telah dilakukan dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah penguatan sistem merit dalam manajemen kepegawaian. Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, pada tahun 2024 menerima penghargaan atas implementasi sistem merit yang baik. Ini mencerminkan keseriusan lembaga dalam mengubah artefak struktural dan perilaku sumber daya manusia agar lebih profesional dan berdasarkan kinerja.
Penggunaan pendekatan Schein dalam menganalisis budaya organisasi menjadi penting karena ia memberikan pemahaman menyeluruh, bukan hanya di permukaan. Transformasi artefak tanpa menyentuh nilai dan asumsi hanya akan menciptakan perubahan semu. Oleh karena itu, perubahan budaya harus dimulai dari proses refleksi organisasi terhadap nilai-nilai yang dianut dan keyakinan yang selama ini diyakini sebagai "kebenaran organisasi".
Pada level artefak, pemerintah telah menunjukkan kemajuan melalui digitalisasi layanan publik meskipun masih dilakukan secara bertahap. Implementasi SPBE, penyederhanaan layanan berbasis aplikasi, serta penghapusan proses manual adalah bagian dari usaha mengubah wajah birokrasi. Namun, perubahan ini sering kali tidak cukup jika tidak dibarengi dengan perubahan perilaku. Misalnya, aplikasi pelayanan mungkin sudah tersedia, tapi jika pegawai masih bersikap lambat dan tidak responsif, maka esensi dari pelayanan publik tetap tidak tercapai.