Di jalan raya Indonesia, strobo bukan lagi sekadar lampu yang menyala kelap-kelip. Ia menjelma tanda kuasa, simbol privilese, dan instrumen yang memisahkan "si berhak mendahului" dengan "si harus menepi." Lampu strobo menjadi penanda hierarki sosial di ruang publik yang seharusnya netral: jalan raya.
Fenomena penggunaan strobo secara liar---dari kendaraan pribadi hingga mobil komunitas---menimbulkan keresahan kolektif. Arogansi ini bukan hanya soal teknis lalu lintas, tetapi juga representasi ketimpangan sosial. Di tengah kegelisahan itulah lahir gerakan digital dengan tagar #StopTotTotWutWut.
Dari Jalan Raya ke Ruang Digital
Gerakan #StopTotTotWutWut bermula dari keluhan warganet, tetapi dengan cepat menyebar dan viral. Media sosial menjadi arena baru bagi warga untuk melawan privilese yang mereka hadapi di jalan. Jika di dunia nyata pengendara biasa sering kali tak berdaya menghadapi kendaraan berstrobo, di ruang digital mereka menemukan panggung tandingan.
Meme, sindiran, hingga video satir menjadi senjata yang ampuh. Media sosial, menurut Manuel Castells, adalah bagian dari network society---sebuah masyarakat yang kekuasaan dan resistensinya ditentukan oleh kemampuan menguasai jaringan informasi. Dalam kasus ini, warga berhasil memanfaatkan jejaring digital untuk mengubah keresahan individual menjadi solidaritas kolektif.
Sosiologi Digital: Strobo Sebagai Simbol
Dari perspektif Erving Goffman, jalan raya adalah panggung sosial. Pengguna strobo memainkan "peran istimewa" dengan menuntut perhatian dan prioritas. Sementara itu, pengendara biasa berperan sebagai penonton yang harus menyesuaikan diri.
Namun, panggung ini berubah ketika dibawa ke dunia digital. Strobo tidak lagi dilihat sebagai tanda kehormatan, melainkan sebagai simbol arogansi. Narasi publik di media sosial menggeser makna strobo: dari lambang otoritas menjadi objek kritik dan olok-olok.
Inilah yang disebut sebagai konstruksi sosial baru---ketika masyarakat bersama-sama membentuk makna baru melalui interaksi digital. Strobo tidak lagi tunggal maknanya, melainkan diperebutkan di ruang siber.
Resistensi Simbolik dan Solidaritas Digital