Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Polemik Harga Dan Cukai Rokok Di Indonesia

24 September 2025   19:10 Diperbarui: 24 September 2025   19:06 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://www.pajak.com/storage/2023/12/51911698074_171a505a1b_b.jpg

"Saya tanya, kan, cukai rokok gimana? Sekarang berapa rata-rata? 57%, wah tinggi amat, Firaun lu,"

(Purbaya, Menkeu)

Sembilan tahun lalu penulis membuat artikel di Kompasiana terkait wacana kenaikan harga rokok menjadi rata-rata Rp 50.000/bungkus. Isu ini berhembus berbarengan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang mengemukakan keterkaitan antara harga rokok dan jumlah perokok. Kenaikan harga rokok diharapkan bisa mengurangi konsumsi rokok.

Benarkah dengan menaikkan harga rokok akan mengurangi secara drastis jumlah perokok?

Perokok akan tetap merokok sekalipun harga rokok tersebut dinaikkan. Mungkin jumlah rokok yang dihisap akan berkurang, akan tetapi perokok pasti akan tetap merokok! Kalau harga rokok terlalu tinggi, maka orang akan mencari alternatif lain, dan itulah yang terjadi saat ini. Di pasaran kini beredar rokok illegal yang harganya lebih murah.

Rokok illegal itu ada dua, rokok impor (seludupan) dari luar negeri dan rokok skala home industri dalam negeri. Kedua-duanya tidak membayar cukai dan pajak. Selain merugikan produsen rokok beserta karyawannya, rokok illegal juga merugikan konsumen karena tidak punya standar kualitas, yang bahkan bisa membahayakan jiwa perokok.

Setiap tahun pemerintah selalu menaikkan CHT (Cukai Hasil Tembakau) Alasannya sih klasik, yaitu untuk menekan konsumsi rokok. Apapun itu, yang jelas penerimaan cukai CHT ini pada 2024 diperkirakan mencapai lebih dari Rp200 triliun, atau sekitar 9--10% dari total penerimaan APBN.

Akan tetapi untuk tahun 2025 ini penulis hakul yakin kalau angka perolehan CHT ini akan menurun. Apa sebab? Contohnya bisa kita lihat pada perusahaan raksasa Sampoerna dan Gudang Garam yang saat ini kelimpungan karena omset yang turun drastis! Kalau raksasa saja tumbang, lantas bagaimana dengan perusahaan kelas menengah dan kelas bawah?

Sebenarnya bukan hanya pada saat ini saja rokok illegal beredar. Lima belas tahun lalu, ketika penulis masih merokok, penulis menemukan "Mail," (Marlboro Light) made in China yang harganya cuma setengah harga resmi produk Marlboro lokal. Rasanya memang kurang enak. Kata abang penjual rokoknya, "Ada rupa ada harga. Yah mirip-mirip beda Lady Gaga dengan Ladyboy, walaupun rasanya beda, tapi yang penting sama-sama ada Lady-nya mase."   

Ketika penulis masih SMA, dan lagi belajar merokok, penulis juga menemukan "Mail," (Marlboro Light) soft pack ori made in Richmond, Virginia, Amerika Serikat. Harganya nyaris dua kali lipat dari harga Marlboro lokal. Kata abang penjual rokoknya, "Ini baru rokok laki! Lo kalau mau terlihat keren di tongkrongan, yah rokoknya cuma ini bos!" Jiwa muda penulis seketika bergetar.

Pertanyaan pentingnya adalah, ketika pemerintah "menjarah" pabrik rokok senilai Rp200 triliun lewat CHT, mengapa pemerintah "membiarkan" rokok illegal ini beredar? Padahal selain tidak membayar cukai dan pajak kepada pemerintah, rokok illegal ini juga nyata-nyata "membunuh" kelangsungan hidup pabrik rokok beserta karyawannya.

Dari sisi ekonomi, industri rokok menyerap jutaan tenaga kerja. Data Kementerian Perindustrian mencatat ada sekitar enam juta orang yang bergantung pada sektor ini. Baik secara langsung (pekerja pabrik) maupun tidak langsung (petani tembakau dan cengkeh, pedagang, hingga distribusi) Oleh karena itu, kebijakan cukai rokok tidak hanya menyangkut kesehatan, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi secara luas.

Dari aspek sosial, saat ini terjadi pelambatan ekonomi secara regional dan global, yang berakibat kepada naiknya angka pengangguran. Hal yang sama juga sudah menimpa industri rokok sejak tahun lalu. Jika hal ini dibiarkan terus (kenaikan CHT pada pabrik rokok setiap tahun plus peredaran rokok illegal) maka angka pengangguran nasional justru akan bertambah, yang pada akhirnya akan memberi tekanan sosial kepada pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun