Gerakan #StopTotTotWutWut dapat dibaca sebagai bentuk resistensi simbolik. Ketika masyarakat tidak punya kuasa di jalan raya, mereka membalik keadaan di ruang digital. Meme yang viral bukan sekadar lucu-lucuan, tetapi mengandung energi perlawanan.
Sosiologi digital melihat ini sebagai bukti bahwa solidaritas tidak lagi hanya terbentuk di jalan-jalan kota, melainkan juga di lini masa. Di sinilah kita melihat konsep "solidaritas digital" bekerja: individu yang sebelumnya terfragmentasi oleh kendaraan masing-masing, kini terhubung oleh narasi bersama.
Dari Hashtag ke Advokasi Sosial
Apakah gerakan ini hanya sebatas viral sesaat? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Tetapi satu hal jelas: gerakan ini telah mengubah percakapan publik. Ia menantang negara dan aparat untuk menertibkan penggunaan strobo, membuka ruang diskusi tentang etika berlalu lintas, bahkan memunculkan kampanye edukasi.
Jika konsisten, #StopTotTotWutWut bisa berkembang menjadi advokasi sosial yang nyata. Seperti yang diajarkan sosiologi gerakan sosial, setiap aksi kolektif digital punya potensi untuk mendorong perubahan regulasi.
Penutup
Fenomena #StopTotTotWutWut adalah contoh nyata bagaimana masyarakat memaknai ulang simbol sosial di era digital. Strobo yang dulu menandakan kuasa, kini menjadi tanda arogansi. Jalan raya yang dulu dianggap ruang netral, kini dipahami sebagai arena ketimpangan.
Namun, di ruang digital, masyarakat menemukan senjata baru: hashtag. Melalui hashtag, meme, dan solidaritas online, lahirlah bentuk baru perlawanan. Dari kaca mata sosiologi digital, ini adalah bukti bahwa teknologi bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga arena perjuangan makna dan kuasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI