Di era digital yang serba cepat ini, mungkin kita semua pernah mendengar istilah FOMO (Fear of Missing Out). Nah, fenomena ini ternyata cukup mengganggu, terutama bagi remaja Gen Z. FOMO adalah perasaan cemas atau takut ketinggalan sesuatu yang sedang tren atau populer, yang sering dipicu oleh aktivitas di media sosial. Seiring berkembangnya teknologi dan platform digital, remaja sekarang lebih terhubung dengan dunia luar daripada sebelumnya, dan itu bisa menciptakan rasa kekhawatiran apabila mereka merasa tidak mengikuti apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Meskipun tampaknya hal ini bisa dianggap sepele, dampak FOMO pada psikologi remaja bisa cukup besar dan memengaruhi perkembangan mereka, terutama dalam konteks pendidikan.
Fenomena FOMO bukanlah hal baru, tetapi di kalangan remaja Gen Z yang tumbuh bersama teknologi, dampaknya jadi lebih intens. Kehidupan mereka sekarang hampir terhubung sepanjang waktu melalui media sosial. Remaja sering merasa mereka "harus" hadir atau ikut serta dalam berbagai aktivitas sosial yang mereka lihat di platform seperti Instagram, TikTok, atau X (dulu Twitter). Jika tidak, mereka mungkin merasa terisolasi atau takut kehilangan momen penting yang sedang diperbincangkan oleh teman-teman mereka. Hal ini memicu kecemasan yang terus-menerus dan bisa berdampak besar pada perkembangan psikologis mereka.
Dalam konteks psikologi pendidikan, FOMO punya efek cukup signifikan terhadap konsentrasi dan prestasi akademik remaja. Ketika mereka lebih fokus pada apa yang terjadi di dunia maya, seperti acara atau tren terkini, perhatian mereka bisa terbagi, sehingga mereka kehilangan fokus pada tugas sekolah. Tugas-tugas atau kegiatan pendidikan lainnya jadi kurang menjadi prioritas, sementara rasa ingin "terhubung" membuat mereka merasa perlu untuk tetap aktif di media sosial. Padahal, hal ini justru bisa mengganggu proses belajar mereka, membuat mereka kurang produktif, dan akhirnya menghambat pencapaian akademik.
Tak hanya itu, FOMO juga memengaruhi kesehatan mental remaja. Perasaan cemas dan stres yang timbul akibat takut ketinggalan sesuatu dapat meningkatkan risiko gangguan kecemasan, depresi, bahkan penurunan rasa percaya diri. Remaja yang merasa mereka tidak bisa mengikuti apa yang terjadi di sekitar mereka mungkin mulai meragukan diri sendiri dan merasa kurang berharga dibandingkan teman-teman mereka. Dalam dunia pendidikan, kecemasan ini sering kali berhubungan dengan kecemasan sosial, yang membuat mereka lebih khawatir tentang bagaimana penilaian teman-teman mereka daripada tentang pembelajaran yang seharusnya mereka tekuni.
FOMO juga berhubungan erat dengan pola hubungan sosial remaja. Di usia yang sedang mencari jati diri, remaja cenderung mencari pengakuan dari teman sebaya, dan media sosial sering menjadi platform utama untuk mencapai itu. Ketika mereka merasa tidak diikutsertakan dalam suatu kegiatan atau percakapan yang sedang ramai, mereka bisa merasa diabaikan atau kurang diterima. Hal ini memperburuk kecemasan sosial mereka, menciptakan perasaan tidak cukup baik, dan akhirnya memengaruhi kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata, termasuk di lingkungan sekolah.
Pendidikan menghadapi tantangan besar dalam membantu remaja mengatasi dampak negatif FOMO ini. Pendekatan berbasis pendidikan karakter, yang mengajarkan remaja untuk mengenali dan menerima diri mereka sendiri, bisa menjadi solusi untuk mengurangi dampak cemas tersebut. Selain itu, pendekatan mindfulness atau kecerdasan emosional juga dapat membantu remaja mengelola perasaan FOMO dengan cara yang lebih sehat. Misalnya, dengan mengajarkan mereka untuk fokus pada apa yang mereka miliki, belajar menikmati momen yang ada, dan tidak terlalu mengandalkan validasi dari luar. Dengan demikian, mereka bisa lebih menghargai proses belajar dan perkembangan diri mereka sendiri, tanpa harus merasa selalu ketinggalan.
Dalam hal ini, penting untuk para pendidik dan orang tua memberikan ruang bagi remaja untuk berbicara tentang pengalaman mereka dengan media sosial, serta memberikan pemahaman tentang bahaya dari perasaan "harus selalu ada" atau "harus selalu ikut" yang dipicu oleh FOMO. Mengedukasi remaja tentang bagaimana cara menggunakan media sosial secara sehat dan bertanggung jawab sangat penting. Dengan cara ini, kita tidak hanya membantu mereka mengelola perasaan cemas, tetapi juga mengajarkan mereka untuk lebih bijak dalam memilih apa yang benar-benar penting bagi mereka.
 Tentunya, tantangan ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh pihak sekolah atau orang tua saja. Kolaborasi antara keduanya, serta masyarakat secara umum, sangat penting untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang dampak FOMO. Misalnya, sekolah bisa mengadakan program atau workshop untuk membantu siswa memahami pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental dan akademik mereka. Orang tua juga bisa berperan aktif dalam membimbing anak-anak mereka untuk mengatur waktu penggunaan media sosial dan lebih fokus pada pengembangan diri mereka tanpa perasaan terburu-buru untuk selalu mengikuti tren.
 Pada akhirnya, dengan pendekatan yang tepat dan dukungan yang tepat, remaja bisa belajar untuk mengatasi FOMO dan lebih fokus pada kesejahteraan mereka sendiri. Fenomena ini, meskipun cukup mengganggu, bisa dihadapi dengan cara yang positif jika kita memberikan pendidikan yang baik tentang pentingnya keseimbangan dalam hidup mereka. Dengan begitu, remaja Gen Z tidak hanya akan tumbuh menjadi individu yang lebih cerdas secara akademis, tetapi juga lebih sehat mentalnya, dan siap menghadapi tantangan kehidupan di dunia digital yang penuh dengan perubahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI