Lihat ke Halaman Asli

Widodo Antonius

Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Jeriko dan Botol Harapan

Diperbarui: 14 Juni 2025   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar Ilustrasi Pilihan ChatGPT

Jeriko dan Botol Harapan

Oleh: Widodo, S.Pd.

Namaku Jeriko. Aku lahir di pelosok desa kecil yang tak banyak orang tahu namanya. Sebuah tempat yang mataharinya selalu terasa lebih dekat dan harapannya tumbuh seperti padi---perlu sabar sebelum panen. Aku bukan anak orang kaya. Ayahku petani, ibuku buruh tenun. Tapi aku selalu percaya bahwa orang miskin pun berhak bermimpi.

Aku diterima di jurusan Sastra Indonesia di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di kota. Saat itu rasanya seperti dunia memberikan sedikit ruang bagi aku untuk melompat dari tepian. Aku anak kampung, tapi aku punya kesempatan. Sementara beberapa teman yang lebih pintar dariku harus pasrah, tak kuliah karena keterbatasan biaya.

Namun, keberuntungan itu seperti mata uang. Satu sisinya harapan, sisi lainnya tantangan. Uang kiriman dari kampung selalu habis sebelum akhir bulan. Tanggal dua puluh baru, dompetku sudah kosong. Aku tidak pernah punya keberanian untuk mengadu kepada orang tuaku. Mereka sudah cukup lelah memikirkan cara menyambung hidup. Aku tak ingin menjadi anak dalam sinetron: merengek minta motor, lalu sawah dijual.

Aku harus mandiri. Aku harus bertahan.

Pekerjaan pertama yang kudapat adalah menjadi penjaga fotokopi di sebuah kios kecil dekat kampus. Upahnya tak besar, tapi bisa kubelikan nasi rames dan segelas teh tawar. Itu sudah cukup. Setiap suara mesin fotokopi yang berdengung, rasanya seperti irama perjuangan.

Namun, hari berganti. Aku butuh penghasilan lebih. Aku mencoba jadi kernet angkot. Pagi-pagi sudah berteriak, "Kosong! Kosong! Ayo naik, Bu!" Tapi kuliahku kacau. Kadang aku harus absen karena masih di terminal saat kelas dimulai. Akhirnya, dengan berat hati, aku mundur.

Aku lalu ditawari kerja sebagai salesman produk rumah tangga, salah satunya botol minum merek Tupperware. Bos kami, Pak Bowo, membuat tantangan: siapa yang bisa menjual terbanyak dalam dua bulan, akan mendapatkan beasiswa kuliah penuh.

Mataku menyala.

Aku datangi perumahan, pasar, taman, bahkan kampus sendiri. Tapi teman-temanku sesama salesman lebih cepat. Tempat strategis sudah lebih dulu mereka jajaki. Aku hanya bisa menggigit bibir. Suatu sore, aku termenung di depan Vihara. Seorang biksu tampak sedang menyapu halaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline