Dengan ragu aku mendekat. "Maaf, Tuan. Saya Jeriko. Saya bawa botol minum berkualitas. Saya tahu, mungkin Tuan tak membutuhkannya. Tapi bagaimana jika ini menjadi kenang-kenangan bagi pengunjung Vihara? Agar mereka bisa ingat bahwa dari tempat sunyi ini, mereka membawa pulang harapan."
Tuan biksu itu menatapku dalam diam. Lalu tersenyum tipis. "Datanglah ke sini setiap bulan. Isi rak yang ada di sana. Aku akan bantu menjualkan."
Dan sejak itu, aku tak pernah kekurangan pelanggan. Para pengunjung Vihara senang membeli botol yang katanya "berisi semangat Jeriko". Sebelum sebulan berlalu, stok habis. Pak Bowo tersenyum saat mengumumkan bahwa aku pemenangnya. Aku, Jeriko, anak desa yang dulunya tak tahu harus makan apa di akhir bulan, kini mendapat beasiswa penuh.
Aku teriak, "Horeee!" seperti anak kecil yang baru menang lomba.
Tapi perjuangan belum usai. Aku ikut semester pendek, mempercepat kuliah. IPK-ku menanjak. Aku ingin lulus dengan predikat cum laude. Dan aku ingin membuktikan bahwa Sastra Indonesia bukan jurusan buangan. Kemampuan berbahasa dan komunikasiku kini kugunakan untuk promosi, menulis konten media sosial, menyusun narasi penjualan.
Dulu, orang bilang jurusan ini tak menjanjikan masa depan. Tapi aku tahu, bukan jurusan yang menentukan, melainkan siapa yang menjalaninya dengan hati dan keberanian.
Aku, Jeriko. Anak kampung, penjaga fotokopi, kernet angkot, dan kini mahasiswa berprestasi. Botol-botol plastik itu bukan sekadar wadah air, tapi juga wadah dari harapan dan perjuangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI