Setiap tanggal 23 September, dunia memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional (International Day of Sign Languages), sebuah momentum yang secara resmi diinisiasi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 2018.
Sejatinya, peringatan itu bukan sekadar "perayaan" simbolik namun untuk menegaskan pentingnya bahasa isyarat sebagai medium komunikasi yang esensial bagi lebih dari 70 juta penyandang tuna rungu di seluruh dunia.
Hari ini bukan sekadar penanda waktu, melainkan seruan kolektif untuk memperjuangkan pengakuan dan hak asasi komunitas tuna rungu secara global.
Pilihan tanggal ini berakar pada sejarah berdirinya Federasi Tuna Rungu Sedunia (World Federation of the Deaf, WFD) pada 1951---sebuah organisasi global yang menjadi pelopor advokasi pelestarian bahasa isyarat dan budaya tuli sebagai unsur fundamental dalam mewujudkan keadilan sosial dan hak asasi manusia (HAM) komunitas tuna rungu.
Bahasa, bukan hanya gerak
Banyak orang keliru memandang bahasa isyarat sebagai "terjemahan visual" dari bahasa lisan.
Persepsi ini mereduksi bahasa isyarat menjadi alat teknis bantu komunikasi---bukan sistem bahasa penuh dengan tata bahasa, kosakata, dan sejarah sosiokulturalnya sendiri.
Singkatnya, bahasa isyarat sendiri merupakan bahasa yang hidup dengan struktur gramatikal dan sintaksisnya sendiri, tidak sekadar representasi visual dari bahasa lisan.
Sebuah pertanyaan dalam bahasa isyarat, misalnya, ditandai dengan gestur ekspresi wajah dan posisi alis yang khas, yang berbeda tergantung jenis pertanyaannya.
Bahasa isyarat bukan hanya melibatkan gerakan tangan, tetapi juga bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang kompleks, membentuk kosakata dan tata bahasa yang lengkap serta dinamis, beradaptasi dan berkembang seiring waktu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!