Pertumbuhan ekonomi adalah ide paling kuat yang pernah ditemukan manusia. Namun, seperti ditulis Daniel Susskind dalam bukunya Growth: A History and a Reckoning, ia juga merupakan ide yang paling sering disalahpahami. Selama berabad-abad, pertumbuhan dianggap sebagai jalan menuju kemakmuran, stabilitas, dan kemajuan. Tetapi di era krisis iklim, ketimpangan, dan disrupsi teknologi, janji lama bahwa "pertumbuhan menyelesaikan segalanya" semakin terasa rapuh.
Buku ini bukan sekadar sejarah ekonomi, melainkan juga refleksi moral. Dari mana datangnya obsesi kita pada pertumbuhan? Apa yang sudah ia berikan? Dan pertanyaan paling berani: apa jadinya jika pertumbuhan, sebagaimana yang kita kenal, telah mencapai batasnya?
Sejarah: Dari Kelangkaan Menuju Surplus
Susskind menelusuri sejarah panjang gagasan pertumbuhan. Selama ribuan tahun, kehidupan manusia nyaris tidak berubah. Kaya dan miskin sama-sama hidup dalam siklus kelangkaan. Lalu datang Revolusi Industri, grafik tiba-tiba melonjak, dan ekonomi modern lahir.
Ekonom seperti Adam Smith hingga Keynes menjadikan pertumbuhan bukan lagi kebetulan, melainkan tujuan kebijakan. Pertumbuhan diukur dengan PDB, dijadikan tolok ukur kemajuan, bahkan menjadi semacam "agama sekuler" dalam politik modern.
Namun, sejak awal, pertumbuhan lebih dari sekadar angka. Ia adalah proyek moral: janji bahwa kemiskinan bisa dikurangi, konflik sosial bisa diredam, dan generasi berikutnya akan hidup lebih baik.
Pertanggungjawaban: Saat Pertumbuhan Menyakiti
Kini kita menghadapi paradoks. Pertumbuhan membawa banyak kebaikan, tetapi efek sampingnya makin sulit diabaikan:
Ketimpangan: meski kemiskinan global menurun, di banyak negara kekayaan justru makin terkonsentrasi.
Krisis Iklim: mengejar pertumbuhan tanpa batas di planet yang terbatas jelas berbenturan dengan realitas ekologis.