Perjalanan yang Ditopang Doa, Pengabdian, dan Cinta Sang Suami
Subuh masih basah di sebuah rumah sederhana. Aroma kopi hitam mengepul dari dapur, berpadu dengan lantunan doa lirih yang keluar dari bibir Juliana Agani.Â
Malam sebelumnya ia hampir tak bisa memejamkan mata. Degup jantungnya berlari lebih kencang daripada detik jam dinding tua di ruang tamu. Besok pagi, tepat 4 September 2025, ia akan berdiri di hadapan para guru besar di Banda Aceh---hari yang akan mengukuhkan gelar doktor yang sejak lama diperjuangkannya.
Di sisi lain, suaminya, Suryadi MJ, putra Kembang Tanjung, berusaha menenangkan. "Tenanglah, semua sudah kau persiapkan. Hari ini hanya tinggal menuai doa dan jerih payahmu," ucapnya lembut. Ia paham benar, perjalanan Juliana bukanlah sekadar akademik, melainkan juga perjalanan jiwa, ditempa kesabaran dan ditemani cinta.
Pagi itu, setelah wudhu dan doa panjang, Juliana mengenakan jilbab merah kebanggaan. Warna yang dipilih bukan tanpa makna---merah adalah simbol keberanian, keyakinan, sekaligus rasa syukur.Â
Jilbab itu bukan sekadar kain penutup kepala, tetapi bendera batin yang membalut perjalanan panjang seorang perempuan yang dulu hanyalah guru honorer di kota kecil, kini bersiap menyandang gelar akademik tertinggi.
Masih di subuh berkah  itu Kamis 4 September 2025 bukan hanya saksi dari denyut doa Juliana, tetapi juga pengabdian suaminya. Suryadi MJ, lelaki yang selalu berdiri di balik layar, tak pernah menuntut sorot kamera atau tepuk tangan. Juliana tahu betul, tanpa doa dan pengorbanan suaminya, langkah menuju ruang sidang doktor di Banda Aceh takkan semudah hari itu.
Sebagai seorang pendidik, Juliana selalu menanamkan kepada murid-muridnya, bahwa ilmu bukan hanya soal kecerdasan otak, tapi juga ketulusan hati. Ia mengajarkan bahwa sukses seorang perempuan tak pernah berdiri sendiri---ada orang-orang tercinta yang menopang, terutama seorang suami yang ikhlas berjuang dalam diam.
"Seandainya ada yang paling berhak mendapat ucapan terima kasih hari ini, maka itu adalah suamiku," ucap Juliana dengan mata berkaca, sesaat sebelum berangkat mengenakan jilbab merah kebanggaannya.
Ia sadar, setiap lembar makalah, setiap lembar jurnal yang diketik larut malam, diselipi doa seorang suami yang tak pernah lelah. Setiap perjalanan akademik yang ia tempuh, selalu ada pengorbanan suami---mulai dari waktu, tenaga, hingga doa yang tak pernah putus.