Lihat ke Halaman Asli

Obat ari kegiatan eksploitasi alam dari aktivitas manusia, mengenal konsep cicural economy.

Diperbarui: 6 Mei 2025   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di tengah pandangan banyak orang yang menganggapnya kuno, seorang kakek dengan tekun mengumpulkan botol plastik, kardus, dan tutup botol di sudut rumahnya. Bagi sebagian orang, barang-barang itu tak lebih dari sampah yang memenuhi ruang, tetapi bagi si kakek, ia seperti seorang bankir yang sedang menyimpan aset berharga untuk masa depan. Setiap botol dan kardus yang ia timbun ibarat deposito di "bank daur ulang" suatu hari nanti, ketika permintaan bahan baku ramah lingkungan melonjak, tabungannya akan menjadi komoditas bernilai tinggi. Ia tak sekadar menumpuk barang bekas, melainkan menciptakan mata rantai baru dalam ekonomi sirkular.

Jika satu orang seperti kakek ini bisa mengumpulkan ratusan kilogram sampah daur ulang setiap tahun, bayangkan dampaknya jika ribuan orang melakukan hal serupa. Mereka tak hanya membersihkan lingkungan, tetapi juga menciptakan pasar baru bagi industri daur ulang. Inilah esensi ekonomi hijau, mengubah yang dianggap tak berguna menjadi bernilai, mengalihkan sampah dari tempat pembuangan ke pabrik-pabrik yang memberinya kehidupan baru. Kakek ini mungkin disebut "penimbun sampah" hari ini, tetapi di masa depan, ia bisa saja dipandang sebagai pelopor kecil dalam revolusi ekonomi berkelanjutan.

Bumi saat ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan akibat eksploitasi sumber daya alam dan aktivitas ekonomi manusia yang tidak terkendali. Industri ekstraktif, pembakaran bahan bakar fosil, dan pola konsumsi tinggi yang tidak memperhatikan berkelanjutan telah menyebabkan pencemaran udara, air, dan tanah dalam skala yang besar. Deforestasi yang terus terjadi tidak hanya menghancurkan habitat alami, tetapi juga memperparah perubahan iklim melalui pelepasan karbon dioksida dalam jumlah besar. Sementara itu, limbah industri dan sampah plastik yang mengalir ke lautan telah menciptakan krisis ekologi di berbagai belahan dunia. Fenomena ini diperparah oleh sistem ekonomi linear tradisional yang menganut prinsip "ambil-gunakan-buang", yang jelas tidak lagi sesuai dengan kondisi bumi yang semakin terbatas sumber dayanya.

Dalam menghadapi tantangan ini, penerapan ekonomi hijau dan ekonomi sirkular menjadi solusi yang penting. Ekonomi hijau menawarkan pendekatan pembangunan yang memprioritaskan keseimbangan ekologis melalui penggunaan energi terbarukan, efisiensi sumber daya, dan praktik industri yang rendah emisi. Sementara itu, ekonomi sirkular adalah sistem ekonomi yang menekankan prinsip "reduce, reuse, recycle" (3R) hadir dengan konsep revolusioner yang mengubah pola produksi dan konsumsi menjadi sistem tertutup di mana semua material didaur ulang dan digunakan kembali, sehingga meminimalkan limbah. Kedua model ekonomi ini tidak hanya berpotensi mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Ekonomi sirkular tidak hanya berfokus pada aspek teknis seperti daur ulang dan pengelolaan limbah, tetapi juga melibatkan perubahan perilaku konsumen, inovasi desain produk, serta penciptaan sistem yang mendukung sirkulasi material dalam jangka panjang. Dalam praktiknya, ekonomi sirkular sangat relevan diterapkan pada sektor pengelolaan sampah, terutama di wilayah urban yang menghadapi tekanan besar dari volume sampah yang terus meningkat.

Salah satu contoh konkret penerapan ekonomi sirkular di tingkat komunitas adalah program bank sampah. Bank sampah merupakan sistem pengumpulan dan pengelolaan sampah berbasis masyarakat, di mana warga dapat "menabung" sampah anorganik yang telah dipilah, seperti plastik, kertas, logam, dan botol, yang kemudian akan dihargai dalam bentuk uang atau ditukar dengan barang kebutuhan sehari-hari. Konsep ini bekerja seperti sistem perbankan konvensional, hanya saja yang ditabung adalah sampah bernilai ekonomis.

Program bank sampah tidak hanya mengatasi permasalahan limbah domestik, tetapi juga menciptakan nilai tambah dari sampah yang selama ini dianggap sebagai beban. Bank sampah mendorong masyarakat untuk memilah sampah dari rumah tangga, mengurangi jumlah limbah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), serta memperkuat kesadaran dan partisipasi warga dalam pengelolaan lingkungan. Melalui pendekatan ini, ekonomi sirkular dijalankan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Surabaya sebagai kota besar dan salah satu kota yang memiliki kepadatan penduduk tentunya mempunyai program Bank Sampah sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Bank Sampah Surabaya merupakan salah satu program unggulan yang digagas oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai upaya mengatasi permasalahan sampah perkotaan secara berkelanjutan. Program ini mulai berkembang sejak awal 2010-an, dipelopori oleh Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH) bekerja sama dengan masyarakat setempat. Konsep dasarnya adalah menjadikan sampah, terutama sampah anorganik, sebagai sumber daya yang memiliki nilai ekonomi. Gagasan ini terinspirasi dari praktik bank sampah di berbagai daerah di Indonesia, namun dikembangkan dengan pendekatan khas Surabaya yang menekankan partisipasi aktif warga melalui kelembagaan lingkungan tingkat kampung atau RW. Program ini juga mendukung gerakan "Surabaya Green and Clean", yang mendorong terciptanya lingkungan bersih melalui kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.

Secara konseptual, bank sampah berfungsi layaknya lembaga keuangan. Warga dapat "menabung" sampah anorganik seperti plastik, kertas, kardus, dan logam ke unit bank sampah terdekat. Sampah yang sudah dipilah akan ditimbang dan nilainya dicatat dalam buku tabungan milik warga. Hasil dari penjualan sampah tersebut kemudian dikonversi menjadi saldo uang yang bisa diambil setelah satu tahun menabung. Proses ini mendorong masyarakat untuk aktif memilah sampah dari sumbernya, menyalurkan sampah anorganik ke bank sampah, dan akhirnya menjualnya ke pengepul atau pihak industri daur ulang. Dengan sistem ini, volume sampah yang dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) seperti Benowo bisa dikurangi secara signifikan, sekaligus menghasilkan keuntungan ekonomi bagi warga.

Selain berdampak pada pengurangan sampah, keberadaan bank sampah juga memberikan nilai tambah di bidang sosial dan lingkungan. Program ini menjadi sarana edukasi bagi warga mengenai pentingnya pengelolaan sampah, sekaligus memberdayakan kelompok masyarakat seperti ibu rumah tangga dan karang taruna untuk terlibat dalam kegiatan produktif. Pendapatan yang diperoleh dari sampah, walaupun tidak besar, cukup membantu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga atau mendanai kegiatan sosial di lingkungan. Hal ini juga mendorong tumbuhnya ekonomi sirkular, yaitu sistem ekonomi yang berfokus pada daur ulang dan penggunaan kembali sumber daya untuk mengurangi limbah dan ketergantungan pada bahan mentah baru. Dengan semakin banyaknya unit bank sampah yang aktif, Surabaya berhasil membangun budaya masyarakat yang lebih peduli terhadap lingkungan.

Transformasi menuju sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan ini membutuhkan komitmen dari semua pihak. Pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang mendorong praktik bisnis berkelanjutan sekaligus memberikan sanksi tegas terhadap pelaku pencemaran lingkungan. Sektor bisnis harus berinovasi dalam mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan menerapkan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan. Di tingkat individu, setiap orang dapat berkontribusi melalui perubahan gaya hidup seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilih produk daur ulang, dan menghemat konsumsi energi. Kolaborasi multipihak ini sangat penting untuk menciptakan perubahan sistemik yang dibutuhkan guna menyelamatkan bumi dari kerusakan yang lebih parah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline