Lihat ke Halaman Asli

Ngomongin Seni dan Budaya

hai saya suka menulis puisi, menggambar, dan curhat.

Jadi Romeo, Monolog Rio Dewanto Sihir Penonton

Diperbarui: 24 Desember 2019   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Rio Dewanto bermain apik di Musikalisasi Sastra Monolog Para Romeo bersama Arie Walker dan Adjie N S. Pertunjukan monolog naskah drama Romeo dan Juliet karya Wiliam Shakespeare di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta menuai tepukangemuruh dari penonton. 

Pertunjukan itu tak hanya menampilkan tiga romeo yang sedang bersakit-sakit karena cinta, tapi juga menggebrak pentas.Seberapa sering seseorang merasa senang sebelum ia mati. Mereka menyebutnya keringanan sebelum kematian. Itu adalah cuplikan kalimat yang dilontarkan dalam monolog itu.  

dokpri

dokpri

Sayatan pedih kata-kata yang dilontarkan makin kuat dengan diiringi musik dan original soundtrack Romeo dan Juliet tahun 1968 yang berjudul what is a youth dan a time for us. 

Tak mau kehilangan identitas dalam budaya lokal, instrumen musik angklung dan tehyan pun menimpali. Naskah drama yang dibacakan berupa untaian kata-kata indah yang menurutku tak berbeda dengan puisi.Selalu ada tempat khusus dan spesial untuk pertunjukan semacam ini. 

Benar kata Elisa Koraag, seorang penyair, penulis, sekaligus bloger, waktu itu di sela-sela perbincangan dengan teman-teman, dulu, Baca puisi tidak bisa di sembarang tempat. Harus ada ruangnya. Berbeda dengan menyanyi yang bisa di mana saja. Kalau baca puisi di kamar mandi, kita dikira gila.

dokpri

Cukup menggelitik, di awal-awal, ruangan dibiarkan gelap. Kemudian satu per satu pria dewasa masuk, masing-masing mendengungkan kata Juliet Kemudian semua pria-pria yang memanggil-manggil Juliet keluar ruangan. Tak berselang lama Arie Walker, Rio Dewanto, dan Adjie N S satu per satu keluar, memainkan monolog mereka. Sambil berbisik lirih, menangis, berteriak, sampai merintih mereka lakoni. Setelah satu per satu monolog selesai, ketiga pemeran utama itu menjadi satu dalam pentas.

Kemudian ketiga tokoh itu sama-sama mengucapkan kalimat ini, Ayolah racun yang pahit, datanglah! Kaulah penghuni keputusasaan, berulang-ulang. Kemudian ketiganya mati dengan menelan sebotol racun. Menutup kisah mereka, pria-pria yang di awal memanggil Juliet masuk satu per satu dan tergeletak di sana.

Monolog itu tak ada ubahnya dengan membaca puisi, di mana harus bermain dengan rasa, perasaan diri sendiri dan orang lain. Cara membacanya pun tentu berbeda dengan membaca koran. Ada penekanan-penekanan di setiap suku kata atau kata, ada ekspresi yang harus dibangun, dan dibawakan dengan cara tertentu. 

Aku tak meragukan bagaimana Rio Dewanto, Arie Walker, dan Adjie N S bermain di atas pentas. Sebagai orang-orang yang sudah lama terlibat dalam dunia panggung sandiwara, tentunya mereka jago. Dan benar dong.

dokpri


Yang menjadi catatanku lagi adalah pakaian yang dipakai oleh Rio Dewanto, Arie Walker, dan Adjie N S. Wow. Kemudian aku tahu kalau fashion desainernya adalah Temma Prasetyo. Temma Prasetyo tak sendiri. Ia menggandeng ilustrator, Han Candra, untuk berkolaborasi dalam koleksinya. Aku tak bisa menjelaskan dengan baik tentang desainnya, tapi aku mengaguminya. Bagus banget!

dokpri

Keseruan monolog sastra naskah Romeo dan Juliet itu diakhiri dengan lelang lukisan karya Rio Dewanto. Hasil penjualan lukisan itu seluruhnya akan digunakan untuk mengembangkan dunia seni peran untuk kegiatan-kegiatan mereka dan mencari bibit-bibit baru. Uwu...



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline