Setelah melalui perdebatan panjang dan tarik-menarik kepentingan selama beberapa bulan, Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) akhirnya mencapai titik krusial. Seluruh fraksi DPR sepakat membawa RUU ini ke sidang paripurna pada pekan depan. Bagi sebagian orang, ini sekadar proses legislasi rutin. Namun, jika dicermati lebih jauh, substansi yang terkandung dalam RUU ini dapat menjadi tonggak baru tata kelola BUMN, terutama karena memuat perubahan fundamental dalam relasi antara negara dan perusahaan pelat merah.
RUU BUMN berisi 11 pokok utama, dua di antaranya paling menyita perhatian publik. Pertama, transformasi Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN. Kedua, larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri sebagai komisaris atau direksi di tubuh BUMN. Dua poin tersebut bukan sekadar perubahan administratif, melainkan representasi dari keinginan kolektif untuk menciptakan tata kelola yang lebih profesional, transparan, dan bebas dari konflik kepentingan.
Reformasi Kelembagaan: Dari Kementerian ke Badan Pengaturan
Perubahan nomenklatur Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan bukanlah perkara semantik. Selama dua dekade terakhir, kementerian ini kerap menghadapi dilema serius: menjadi regulator sekaligus operator. Di satu sisi, kementerian harus mengawasi BUMN; di sisi lain, pejabatnya justru duduk sebagai komisaris. Situasi ini menimbulkan kerancuan fungsi dan membuka ruang intervensi politik.
Badan Pengaturan BUMN nantinya diharapkan hanya berfokus pada fungsi pengawasan, regulasi, serta pembinaan. Dengan begitu, BUMN dapat menjalankan peran bisnisnya secara lebih independen, efisien, dan profesional. Model ini sejalan dengan praktik di banyak negara maju yang telah menyerahkan pengelolaan perusahaan negara pada sovereign wealth fund atau badan setara. Negara hadir bukan untuk mengurusi operasional sehari-hari, melainkan sebagai pengatur, penjaga kepentingan publik, dan penerima manfaat dari dividen yang sehat.
Larangan Rangkap Jabatan: Menutup Ruang Konflik Kepentingan
Larangan rangkap jabatan bagi menteri maupun wakil menteri dalam jajaran komisaris atau direksi BUMN adalah langkah korektif yang selama ini dinantikan. Praktik rangkap jabatan bukan hanya tidak etis, tetapi juga melemahkan prinsip check and balance. Bagaimana mungkin seorang pejabat negara yang bertugas mengawasi, sekaligus merangkap sebagai bagian dari yang diawasi?
Larangan ini membawa pesan moral sekaligus politik: BUMN tidak boleh lagi menjadi lahan kekuasaan. Komisaris dan direksi harus diisi oleh profesional yang kompeten dan independen. Negara, melalui RUU ini, berusaha memastikan bahwa posisi strategis di BUMN tidak lagi menjadi "kursi politik", melainkan wadah untuk mewujudkan tata kelola yang sehat.
Implikasi Ekonomi: BUMN sebagai Pilar Pembangunan
BUMN adalah aktor vital dalam perekonomian Indonesia. Dari energi, transportasi, telekomunikasi, hingga perbankan, keberadaan perusahaan pelat merah bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat luas. Reformasi kelembagaan dan larangan rangkap jabatan diharapkan dapat mengubah wajah BUMN: dari sekadar "alat" pembangunan, menjadi pilar ekonomi yang berdaya saing tinggi.