"Membaca memang berat, maka biarlah rakyat saja yang menanggung akibatnya."
Beginilah wajah negeri ketika kebijakan lebih cepat diumumkan ketimbang dokumen kajiannya dibaca tuntas.
Lihat saja dua contoh terbaru: kenaikan PPN 12% yang sempat bikin heboh, lalu buru-buru dipoles ulang hanya untuk barang mewah; atau aturan penjualan LPG 3 kg yang diluncurkan penuh percaya diri, tapi kemudian dicabut secepat kilat setelah rakyat berdesakan di antrean.
Dua kebijakan yang seharusnya lahir dari analisis mendalam, justru tampil bak drama "coba-coba" yang menjadikan publik sebagai pemeran utama tanpa audisi.
Kebijakan publik semestinya lahir dari proses panjang: riset, konsultasi, uji coba terbatas, lalu pengumuman resmi. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya-kebijakan diumumkan dulu, baru kemudian dicari alasan, data, bahkan tambal sulam untuk menutup lubang yang muncul.
Akibatnya, publik seperti menyaksikan drama trial and error dengan tiket masuk yang wajib dibayar lewat pajak, harga kebutuhan pokok, hingga waktu yang terbuang di antrean.
Setiap kali ada revisi, konsekuensinya tidak ringan: kepercayaan masyarakat luntur, aparat di lapangan bingung, dan anggaran negara ikut terbakar hanya untuk menambal kesalahan.
Kebijakan setengah matang ini ibarat kue yang dikeluarkan dari oven sebelum waktunya-tampak cantik di luar, tetapi ketika dipotong isinya masih mentah.Â
Pertanyaannya, apakah wajar sebuah negara terus-menerus disuguhi "kue mentah" hanya karena para pembuat kebijakan enggan membaca resep dengan seksama?
Maka pertanyaan pun muncul: apakah semua ini bermula dari pejabat yang malas membaca? Atau lebih tepatnya, dari pejabat yang membaca sekilas tapi merasa sudah paham segalanya?