Lihat ke Halaman Asli

Duduk Bersama Masalah: Belajar Mendengar Apa yang Ingin Dikatakan Hidup

Diperbarui: 24 September 2025   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

*Duduk Bersama Masalah: Belajar Mendengar Apa yang Ingin Dikatakan Hidup*

Seringkali, yang paling mengusik bukanlah besar kecilnya masalah, melainkan bagaimana kita menyadari, merasakan dan memaknainya. Ada orang yang kehilangan pekerjaan, lalu bisa bangkit dengan cepat. Tapi ada juga yang hanya dengan sedikit konflik keluarga, sudah terasa hancur seluruh dunianya. Mengapa bisa berbeda? Karena setiap masalah menyentuh bagian terdalam diri kita --- bagian yang selama ini kita anggap penting untuk bertahan.

Dalam sesi konseling, saya melihat klien tidak benar-benar terganggu oleh masalahnya, melainkan oleh perasaan kehilangan kendali dirinya sendiri. Masalah itu seperti cermin: ia memantulkan sesuatu yang selama ini kita genggam erat, dan kita takut kehilangannya. Kadang itu status, peran, atau hubungan tertentu. Kadang itu identitas yang kita bangun bertahun-tahun. Begitu ada retakan, seluruh bangunan seakan runtuh.

Pertanyaan mendasar sering kali kita lupakan: "Apa sebenarnya yang paling saya genggam erat? Dan mengapa saya takut kehilangannya?"

Kita jarang mau duduk bersama pertanyaan itu. Karena terlalu menyakitkan untuk diakui. Kita lebih memilih sibuk mencari solusi cepat, sibuk mengalihkan perhatian, atau sibuk menyalahkan keadaan. Padahal justru di sanalah pintu pembebasan diri berada.

Mengapa Kita Merasa Sangat Terganggu?

Coba perhatikan dengan jujur: apakah masalah ini benar-benar sebesar itu? Atau karena ia menyentuh sesuatu yang kita anggap sebagai "akar makna hidup"?

Misalnya, seorang ayah yang merasa gagal ketika tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal, kegagalan itu bukan semata kehilangan uang, melainkan rasa kehilangan jati dirinya sebagai pelindung. Atau seorang ibu yang merasa hancur ketika anaknya menolak saran darinya. Yang sakit bukan penolakan itu, tapi runtuhnya peran "ibu yang dihormati".

Masalah hanya menjadi menyakitkan ketika ia menyinggung identitas yang kita yakini sebagai diri kita.

Apa yang Sebenarnya Paling Kita Takuti?

Kita menggenggam erat sesuatu bukan semata karena kita mencintainya, tapi karena kita percaya tanpanya kita tidak berarti. Status, hubungan, reputasi, harta, bahkan "citra diri baik" yang kita pamerkan di hadapan orang lain --- semua itu sering kita jadikan fondasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline