Lihat ke Halaman Asli

Tupari

TERVERIFIKASI

Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Dasamuka, Level Ekstrem dari Sugar Coating?

Diperbarui: 9 Oktober 2025   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dua eksekutif kantor tengah berbincang(Dok. Shutterstock via kompas.com)

Saya pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi korban “Dasamuka” di tempat kerja. Sosok bermuka manis, penuh pujian, namun di baliknya ada manipulasi yang membuat saya merasa terkendali oleh kata-kata. Dari pengalaman itu, saya sadar betapa sugar coating bisa menjadi senjata berbahaya bila dipakai secara berlebihan.

Dalam dunia kerja modern, kita sering mendengar istilah sugar coating. Sederhananya, ini adalah seni memaniskan kata-kata agar terdengar menyenangkan, meski kenyataannya tidak selalu seindah itu. 

Fenomena ini kerap dijumpai di kantor: rekan kerja yang begitu lihai berbasa-basi, memuji atasan dengan bahasa manis, atau mengemas kritik dalam kalimat lembut agar tidak menyinggung, atau dengan kata lain "menjilat".

Namun, di balik wajah ramah sugar coating, ada sisi yang bisa terasa menjengkelkan. Kata-kata yang terlalu manis justru menimbulkan rasa tidak nyaman, bahkan bisa dianggap sebagai bentuk ketidakjujuran. 

Jika ditarik ke ranah budaya, sebenarnya kisah pewayangan telah lama menghadirkan contoh ekstrem dari sugar coating- yakni tokoh Dasamuka (Rahwana) dalam epos Ramayana.

Pertanyaannya, apakah Dasamuka bisa dianggap sebagai bentuk sugar coating level paling ekstrem?

Sugar Coating: Manis di Bibir, Hambar di Hati

Sugar coating dalam komunikasi bukan sekadar basa-basi. Ia adalah strategi: bagaimana menghaluskan pesan, memoles kata-kata agar lebih enak didengar, bahkan kadang untuk menutupi fakta yang sebenarnya pahit. 

Dalam batas tertentu, hal ini bisa bermanfaat. Namun, ketika sugar coating dipakai berlebihan, tujuan komunikasi bisa berubah. Alih-alih memberi solusi, justru muncul manipulasi. Kata-kata manis bisa dipakai untuk mencari muka, menyenangkan atasan, atau bahkan menyembunyikan niat buruk. 

Di titik inilah sugar coating menimbulkan dilema etis: apakah itu keterampilan komunikasi, atau sekadar cara licik untuk mencapai tujuan pribadi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline