Pendahuluan
"Bhineka Tunggal Ika" - tiga kata sakti yang terpampang megah di kaki Garuda Pancasila. Artinya? "Berbeda-beda tapi tetap satu". Semboyan ini seperti mantra suci yang selalu kita dengungkan saat upacara bendera atau pidato kenegaraan. Tapi di tengah gempuran hoaks SARA, kesenjangan ekonomi yang menganga, dan politik identitas yang semakin menjadi, pertanyaannya: masihkah semboyan ini benar-benar hidup dalam denyut nadi bangsa, atau hanya jadi pajangan indah yang kita banggakan tanpa dijiwai?
Teori Indah vs Realita Pahit
Secara teori, Bhineka Tunggal Ika adalah masterpiece persatuan. Indonesia dengan 17.000 pulau, 1.300 suku, dan 700 lebih bahasa tapi tetap satu? Luar biasa! Tapi mari buka mata:
1. Demokrasi yang Jadi Bumerang
Seperti dikatakan pengamat politik Petrus Dimas, masalahnya bukan pada Pancasila atau Bhineka Tunggal Ika, tapi pada demokrasi kita yang kebablasan. Contoh nyata:
- Elite politik yang sengaja memainkan isu SARA untuk mengalihkan perhatian dari kasus korupsi
- Kebebasan berpendapat yang disalahgunakan untuk menyebar kebencian
2. Kesenjangan yang Menganga
Dosen Universitas Airlangga, Tedi Aurig, menyoroti ketimpangan dalam implementasinya:
- Politik: Semua berteriak kesetaraan, tapi kursi kekuasaan tetap didominasi kelompok tertentu
- Ekonomi: 4 orang terkaya Indonesia menguasai kekayaan setara 100 juta penduduk termiskin (Oxfam 2023)
- Hukum: Pejabat korupsi ratusan miliar bebas berkeliaran, rakyat kecil mencuri ayam langsung dijebloskan ke penjara
Medan Perang Baru: Dunia Digital
Media sosial yang seharusnya jadi alat pemersatu malah berubah jadi medan perang:
- Hoaks SARA menyebar lebih cepat dari berita faktual
- Forum-forum diskusi agama justru jadi echo chamber yang memperdalam prasangka
- Data MAFINDO (2024) menunjukkan 67% konflik sosial dipicu hoaks di medsos
Resep untuk Indonesia yang Lebih Bhineka
1. Pendidikan yang Menyentuh Hati
Jangan cuma hafalan tapi praktik nyata: program pertukaran pelajar antardaerah, live-in di komunitas berbeda agama, atau kuliah umum lintas budaya.
2. Hukum yang Tegas tapi Adil
Berikan sanksi berat untuk provokator SARA, tapi juga berikan apresiasi pada tokoh-tokoh yang aktif mempromosikan toleransi.
3. Perangi Kesenjangan Ekonomi
Tak mungkin kita bersatu kalau 1% penduduk menguasai 50% kekayaan nasional. Saatnya pajak progresif untuk konglomerat dan subsidi tepat sasaran untuk rakyat kecil.
Penutup: Masih Relevankah?
Bhineka Tunggal Ika bukan mantra ajaib yang bisa menyelesaikan semua masalah dengan sekali ucap. Ia adalah komitmen harian yang harus kita buktikan dengan:
- Tidak mudah percaya hoaks SARA
- Berani mengkritik ketimpangan ekonomi
- Menolak politikus yang memainkan isu perpecahan
> "Kita boleh beda agama, beda suku, bahkan beda pilihan politik. Tapi jangan sampai beda dalam kecintaan pada tanah air ini."
Referensi:
- Laporan Oxfam 2023 tentang kesenjangan ekonomi
- Data MAFINDO 2024 tentang hoaks dan konflik sosial
- Opini Petrus Dimas dan Tedi Aurig di media online
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI