Dalam dunia yang dipenuhi oleh gambar, iklan, fashion, dan berita, pemahaman tentang bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan menjadi sangat penting.
Roland Barthes, seorang pemikir Prancis abad ke-20, menawarkan sebuah alat analisis yang tajam untuk membedah cara kerja tanda dalam budaya kita.
 Karyanya, yang berakar pada semiologi, tidak hanya mengajarkan kita cara "membaca" tanda, tetapi juga membongkar kekuatan ideologi yang sering tersembunyi di dalamnya. Menulis tentang konsep tanda Barthes berarti memasuki wilayah di mana bahasa dan budaya berpadu untuk menciptakan realitas yang kita huni.
Dari Saussure ke Barthes: Denotasi dan Konotasi
Barthes membangun fondasi pemikirannya dari linguistik Ferdinand de Saussure. Saussure mendefinisikan tanda sebagai kesatuan antara Penanda (Signifiant) dan Petanda (Signifi). Penanda adalah bentuk fisik tanda (suara kata atau coretan tinta), sementara Petanda adalah konsep atau makna yang dipikirkannya. Misalnya, kata "mawar" (penanda) memunculkan konsep tentang bunga tertentu (petanda).
Barthes mengambil konsep ini dan melangkah lebih jauh. Baginya, tanda Saussurean ini hanyalah tingkat pertama makna, yang ia sebut denotasi. Ini adalah makna yang literal, objektif, dan umum disepakati. Sebuah foto seekor singa di denotasi hanyalah representasi visual dari hewan bernama Panthera leo.
Namun, kejeniusan Barthes terletak pada pengenalannya akan tingkat kedua makna konotasi.
Pada tingkat inilah tanda (yang sudah terdiri dari penanda dan petanda) berfungsi sebagai penanda baru untuk petanda-petanda yang lebih kultural, emosional, dan ideologis.
Foto singa tiba-tiba bukan lagi sekadar hewan. Ia menjadi penanda baru untuk petanda seperti kekuasaan, keberanian, kebangsawanan, atau bahaya. Konotasi inilah yang membuat tanda menjadi hidup dan sarat dengan nilai-nilai budaya.
Mitos: Ketika Konotasi Berpura-pura Menjadi Alamiah