Kegiatan penagihan pajak sebagai bagian dari penegakan hukum pajak tentu saja mengusik keekonomian para pembayar pajak apalagi tindakan penagihan tersebut dilakukan oleh aparatur negara yang diberi label jurusita pajak negara. Terminologi jurusita jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pegawai pengadilan yang bertugas menyita barang-barang. Sementara itu Undang-Undang Penagihan Dengan Surat Paksa memaksudkan jurusita pajak sebagai pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan. Penagihan Pajak merupakan serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Penagihan seketika dan sekaligus dilakukan tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran apabila Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya; terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu; badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Surat Paksa diterbitkan dalam kondisi apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis; terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.
Maka dapat disimpulkan yang menjadi penyebab dilakukannya penagihan pajak oleh jurusita pajak adalah adanya utang pajak atau lebih tepatnya adanya Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Banyaknya kasus yang menimpa jurusita pajak yang sedang melaksanakan tugas seharusnya menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan. Padahal jurusita pajak dalam hal ini hanya berfokus bagaimana agar dasar penagihan pajak dilunasi oleh wajib pajak. Tentu kita masih ingat bagaimana Parada Toga Fransriano Siahaan dan Sozanolo Lase kehilangan nyawa dalam melaksanakan tindakan penagihan terhadap Agusman Lahagu. Belum lagi tindakan pihak ketiga yang mencoba melakukan intervensi terhadap pelaksanaan penagihan. Agar hal-hal seperti itu dapat diminimalisir tentu kita harus mampu menekan kemungkinan munculnya utang pajak yang menjadi dasar penagihan pajak sebagai ekses dari pengawasan dan pemeriksaan oleh fiskus. Dalam hal ini sangat diharapkan adanya voluntary compliance dari wajib pajak. Faktor-faktor yang membentuk terciptanya voluntary compliance adalah adanya keadilan prosedural, kewajiban moral, kepercayaan wajib pajak, dan kekuasaan legitimasi. Namun dalam pelaksanaan perundang-undangan tidak dapat dipungkiri terjadinya sengketa sangat dimungkinkan. Penyelesaian sengketa perpajakan sudah sangat difasilitasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti pembetulan Surat Pemberitahuan, pengungkapan ketidakbenaran, pengurangan, penghapusan, atau pembatalan ketetapan pajak yang bersifat non-litigasi ataupun penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi seperti gugatan, keberatan, banding, maupun peninjauan kembali. Demikian juga quality assurance yang dapat diajukan wajib pajak dalam proses pemeriksaan pajak. United Nations Handbook on The Avoidance and Resolution of Tax Disputes (2021) mengutarakan hal-hal yang menjadi penyebab sengketa antara otoritas pajak dan wajib pajak.
- Wajib pajak tidak setuju atas ketetapan pajak yang diterbitkan oleh otoritas pajak.
- Pemeriksaan, interpretasi, dan penerapan hukum pajak yang tidak sesuai dengan fakta kegiatan usaha wajib pajak.
- Sengketa yang berhubungan dengan penghitungan penghasilan kena pajak, metode transfer pricing yang berbeda antara fiskus dan wajib pajak, penentuan biaya yang dapat dikurangkan termasuk kredit pajak dalam dan luar negeri, pengakuan kerugian fiskal, pengakuan penghasilan, penentuan ada tidaknya bentuk usaha tetap, atau penentuan tempat tinggal/kedudukan wajib pajak.
Mekanisme penghindaran atas terjadinya sengketa membawa dampak positif bagi kedua belah pihak baik otoritas pajak maupun wajib pajak. Dari sisi wajib pajak, penghindaran sengketa akan membuat wajib pajak sadar akan transparansi, kepastian hukum, dan pemahaman yang lebih baik atas hak dan kewajibannya di mana kemudian wajib pajak mendapatkan informasi tentang keputusan yang harus dibuat terkait kewajiban perpajakannya. Terjadinya sengketa pajak menyebabkan timbulnya biaya yang seharusnya tidak perlu sampai kepada kemungkinan terjadinya proses litigasi. Dari perspektif otoritas pajak, penghindaran sengketa akan membawa kepada pemanfaatan sumber daya yang lebih efektif guna menangani wajib pajak dengan risiko yang lebih tinggi dan permasalahan hukum. Mekanisme ini juga membuat proses perpajakan lebih transparan sehingga menimbulkan kepercayaan dan integritas dalam sistem perpajakan yang pada akhirnya menghasilkan kepatuhan sukarela. Sama seperti wajib pajak, otoritas pajak pun juga akan menghindari terjadinya biaya yang tidak perlu ataupun ketidakpastian atas keputusan pengadilan. Dalam perpajakan internasional telah dikenal apa yang disebut sebagai advance pricing agreement, instrumen yang mengikat otoritas pajak guna menghindari terjadinya sengketa. Namun terdapat mekanisme lain yang disebut dengan kepatuhan koperatif (cooperative compliance) yang tidak bersifat mengikat tapi sebaliknya ditujukan untuk memberi kepastian bahwa wajib pajak memiliki pemahaman atas penerapan hukum pajak serta interpretasinya. Bentuk kepatuhan koperatif menekankan pada kesepahaman antara otoritas pajak dengan wajib pajak guna mencegah terjadi konfrontasi pajak. Transparansi penuh atas transaksi, laporan keuangan, hal-hal yang berhubungan dengan pajak, dan kerangka pengendalian risiko pajak dalam hal ini sangat dibutuhkan. Wajib pajak diharapkan memiliki pemahaman menyeluruh atas administrasi perpajakan dan tindakan-tidnakan apa yang harus dilakukan guna menghindari sengketa. Dari sisi otoritas pajak diharapkan terciptanya kepastian waktu dan hukum. Akhirnya kedua pihak diuntungkan.
Wajib pajak dapat menentukan hak dan kewajiban perpajakannya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana yang diharapkan pemerintah sehingga wajib pajak dengan mudah memenuhi kewajibannya serta memenahami hak-hak perpajakannya. Ini hal yang paling utama dan paling efektif untuk mencegah sengketa pajak. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar perangkat peraturan tersebut dapat dipahami dan dilaksanakan. Pendekatan ini mengarahkan pada kejelasan legislasi, kemampuan wajib pajak untuk memenuhi ketentuan perpajakan, biaya kepatuhan yang harus ditanggung wajib pajak, serta sumber daya yang harus dikerahkan otoritas pajak dalam pelaksanannya. Keuntungan kepatuhan koperatif bagi otoritas pajak dapat berupa perbaikan kepatuhan pajak, pengamanan penerimaan pajak, peningkatan manajemen risiko kepatuhan, efektivitas dan efisiensi sumber daya dengan mengurangi pemeriksaan, serta meningkatkan kapabilitas atas pemahaman kegiatan usaha perusahaan multi nasional. Keuntungan kepatuhan koperatif dari sisi wajib pajak antara lain meminimalkan sengketa pajak, manajemen risiko yang lebih baik dan lebih mudah, biaya kepatuhan yang lebih rendah, tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, dan iklim investasi yang lebih baik. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam penghindaran sengketa antara lain:
- Pemberian petunjuk tata cara yang dapat membantu wajib pajak dalam memahami dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah penyusunan tata cara praktis, pemberian petunjuk baik secara oral via telepon atau secara tertulis melalui situs, media cetak, pengingat, ataupun interpretasi.
- Pemberian saran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saran merupakan pernyataan dari otoritas pajak yang dipublikasikan bagi kelompok usaha secara umum atau skema transaksi tertentu.
- Perjanjian pra-pelaporan di mana hal ini bertujuan agar wajib pajak memeroleh kepastian dari otoritas pajak atas kewajiban perpajakannya sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuannya.
- Advance pricing agreement.
- Hubungan yang baik antara wajib pajak dan fiskus.
- Review selama proses pemeriksaan yang dilakukan pihak independen.
- Mediasi yang dilakukan dalam proses pemeriksaan.
Pemberian petunjuk tata cara dan saran tersebut harus jelas, akurat, konsisten, dan dapat diakses oleh wajib pajak untuk menghasilkan transparansi, kepastian, dan pemahaman yang lebih luas sehingga mengudang wajib pajak untuk sukarela menginformasikan keputusan-keputusan yang diambil terkait perpajakannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah petunjuk tata cara dan saran tersebut di atas bersifat mengikat atau tidak. Bagi beberapa negara petunjuk tata cara dan saran tersebut bersifat mengikat di mana wajib pajak benar-benar bergantung pada hal itu sehingga apa bila terdapat kesalahan akibat mengikuti petunjuk tata cara dan saran tersebut maka wajib pajak mendapatkan perlindungan hukum atas pajak yang kurang dibayar maupun sanksi yang timbul. Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan sendiri telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi. Dengan adanya penciptaan lingkungan penghindaran sengketa dan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan diharapkan sengketa perpajakan dapat diminimalkan. Otoritas pajak dapat membentuk tim alternatif penyelesaian sengketa yang independen dan terbebas dari intervensi pihak lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI