Beberapa tahun lalu, saya termasuk orang yang skeptis dengan investasi. Bukan karena tidak percaya, tapi karena merasa itu "bukan ranah saya". Investasi terdengar rumit, penuh angka, dan hanya untuk mereka yang paham ekonomi. Apalagi, saya ini orang yang terbiasa "nrimo" dan gampang puas. Yang penting nggak boros, yang penting nggak buat kriminal, yang penting dipakai baik-baik. Saya lebih memilih menabung biasa di bank, meskipun bunganya tak seberapa.
Namun, cerita berubah setelah saya menikah dengan istri saya, Ara. Hampir sama seperti ibu rumah tangga pada umumnya, dia suka membeli emas. Bedanya, emas yang dia beli bukan emas perhiasan, namun emas dalam rupa logam mulia. Ia tak mengumpulkan keping-keping emas itu untuk dipakai apalagi dipamerkan, namun untuk simpanan. Saat itu, saya melihatnya dengan mencibir dalam hati, seperti tokoh Prof. Snape setiap kali melihat Harry. Saya masih melihat "emas" sebagai perhiasan, sesuatu yang konsumtif dan dekoratif, bukan yang menjanjikan profit.
Hingga akhirnya, dengan mata berbinar dan senyum kemenangan, dia menunjukkan saya meroketnya harga emas dari waktu ke waktu. Keping-keping logam mulia yang dulu dia beli dengan harga tak sampai Rp1 juta per gram, saat itu sudah melonjak hampir 2 kali lipatnya. Mata saya terbelalak, saya setengah tak percaya, dia membuktikan pada saya bahwa dia telah memilih instrumen pengelolaan aset yang tepat. Sejak itu, emas tak lagi saya pandang sebelah mata.
Emas: Penyelamat Tak Terduga yang Datang Pada Waktunya
Saya jadi lebih paham mengapa ibu-ibu rumah tangga itu gemar membeli bermacam-macam perhiasan---termasuk ibu saya sendiri di Yogyakarta. Kalung, gelang, cincin, anting, semua mereka kumpulkan. Rupanya, perhiasan emas itu tak sekadar fashion statement, namun sebuah langkah nyata mempersiapkan masa depan. Pria merasa sudah hebat dengan bagaimana mereka mengelola uang dan asetnya, namun pada akhirnya perempuan yang seringkali jadi penyelamat. Ibu sendiri bercerita, bagaimana ia menjual emas-emasnya untuk menyelamatkan kondisi keluarga yang diterpa masalah biaya, tak terkecuali untuk momen pernikahan saya.
Roda penggerak saya saat ini, bahagia istri dan anak-anak [dokpri]
Jelang momen persalinan istri saya di awal 2023, saya tak punya banyak simpanan. Istri harus melahirkan secara caesar karena kondisi bayi kembar yang dikandungnya. Coba tebak? Betul. Logam-logam mulianya yang menyelamatkan kondisi kami. Sebagai kepala keluarga, saya merasa tak lagi punya muka. Namun, kalau terus menerus bergulat dengan gengsi, saya hanya akan menjadi bapak-bapak bebal yang gagal upgrade diri. Saya memilih untuk mengikuti langkahnya, menyimpan sebagian aset dalam rupa emas.
Sayangnya, saya tak punya banyak ketelitian dan kesabaran seperti Ara yang betah berseluncur di layar gawai untuk menemukan toko online dengan harga logam mulia terbaik. Beli langsung di store? Apalagi. Saya terlalu sibuk bekerja di kantor digital agency hingga rasanya menguras semua energi. Solusi untuk masalah saya datang secara tak disengaja saat saya sedang menikmati video perjalanan di sela-sela kesibukan bekerja. "Eh, Tabungan Emas di Pegadaian Digital? Pegadaian ada aplikasinya? Terus gimana tuh maksudnya nabung emas?" batin saya begitu diterpa iklan daring tersebut.
Itulah awal perkenalan saya dengan Pegadaian Digital (yang saat ini bernama Tring) --- aplikasi digital dari Pegadaian yang membuat menabung emas jadi semudah belanja online. Dan dari situlah saya mulai menyadari, ternyata cara Pegadaian mengEMASkan Indonesia dimulai dari hal-hal kecil seperti ini, memberi kesempatan untuk bertumbuh bagi siapa pun, tanpa harus kaya dulu.
Langkah Kecil yang Berarti
Malam itu, saya unduh aplikasinya. Antarmukanya sederhana, berwarna hijau khas Pegadaian. Hanya butuh KTP dan nomor ponsel untuk daftar. Tak sampai lima menit, akun saya aktif. Tanpa menunggu berhari-hari, kantung emas digital yang semula kosong itu saya isi, dan di layar muncul saldo emas pertama saya --- 0,02 gram. Nilainya tidak besar, tapi rasanya menyenangkan. Ada kepuasan tersendiri melihat bahwa saya akhirnya punya emas sendiri.
Tring! by Pegadaian [tangkapan layar pribadi]